Tuesday, September 6, 2011

Waktu Hening Agustusan

By: Prof. Dr. Mudji Sutrisno, SJ

Harimurti (tokoh “imajinatif” novel Umar Kayam dalam “Para Priyayi” (1992) sadar selama ini hidupnya hanya diputar oleh mesin kegiatan kesenian propaganda partai, manakala ia berada di tahanan. Sebuah ruang yang memaksanya memiliki “waktu olah hening untuk dirinya dan menimbang hidupnya.” Selama ini, aku ini serba sibuk, serba tergesa berputar dari satu kegiatan ke kegiatan lain hingga tidak punya waktu untuk refleksi diri (cetusnya saat-saat hening di penjara).

Rasus dan Srintil (tokoh-tokoh novel Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, 1986) mengalami proses serupa, baru menemukan jati dirinya manakala ada saat hening merenung buat dirinya.

Tokoh-tokoh “Burung-burung Manyar” dan “Burung-burung Rantau” Mangunwijaya, menemukan visi dan arah dirinya di tengah galaunya zaman. Hanya mereka yang punya waktu hening dan saat renung mengolah pengalamannya.

Tidak heran jika tokoh-tokoh pendiri negara kita mengalami perenungan pematangan diri saat diasingkan--di penjara. Lihatlah renungan Sutan Sjahrir mengenai dialog biografi dirinya dan bangsanya dalam buku Renungan Indonesia (1946). Visi pikiran fajar budi dan nurani kenegaraannya kerap bertabrakan dengan mentalitas budak dan feodal yang menyudutkannya.

Begitu pula kritik tajam Bung Hatta mengenai mentalitas gerombolan serba masal seragam bangsanya, ia tantang dengan nilai demokratik kemerdekaan pribadi. Ia kaji kembali apa artinya nilai kekeluargaan untuk bangsa ini, melalui pendidikan disiplin waktu hingga Bung Hatta sendiri menjadi ikon ketepatan waktu dan asketisme intelektual.

Mengapa pengendapan diri mampu diproses oleh keheningan ketika berefleksi atau bersamadhi? Jawabnya jelas: saat-saat itu, kita masuk dalam sebuah “private space”: jagat batin pribadi kita yang secara jujur akan menggugat dan akan bersuara tulus menanyakan tepatkah, benarkah dan baikkah pilihan-pilihan sikap dan tindakan kita selama ini? Inilah ruang batin di mana sayup-sayup tulus bersuaralah kesadaran kita yang mau menegaskan bahwa kita bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan, keputusan-keputusan yang menyangkut diri kita, sesama, dan Dia yang menciptakan kita. Inilah “inner space”, nurani manusia atau getar-getar suara yang mengatakan benar-salah, baik-tidak yang muncul setiap kali dari kesadaran batin kita.

Tidak heran bila proses-proses pencerahan, transformasi, penemuan diri juga terjadi di sana—diolah di situ lantaran inner space itulah tempat pengendapan dan pengolahan perilaku kita yang hanya menjadi “nurani hening” bila diberi waktu, diberi porsi keheningan batinnya.

Ketika orang disibukkan oleh aktivitasnya, ia mengalami eksteriorisasi, artinya pusat dirinya ditarik keluar dalam gerak sentrifugal (lari dari pusat). Gerak yang terus menerus ini, membuatnya berada di lapis permukaan kehidupan batin. Begitu materialisme dan hedonisme menghajarnya, ia mengalami sebuah dunia yang retak nilai acuan dalam diri (fractured meaning).

Kedalaman kini mengutuhkan kedangkalan-kedangkalan eksteriorisasi. Kedalaman mengolah hiruk-pikuk pasar kehidupan dalam sanctuary batin hingga pusat diri ada di dunia batin di mana kita bisa menemukan ruang-ruang hening batin secara publik? Yang pertama, di setiap konstruksi ruang katarsis yang dengan sadar dirancang untuk mengatasi kepengaban udara kotor kota dalam “taman-taman budaya”nya; sentrum-sentrum temu untuk orang mudanya. Dahulu, Bang Ali merancang jauh usaha ini dalam sisa-sisa peninggalan yang masih ada: TIM; Youth Centers “Bulungan”; Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Ancol dan Pasar Seninya serta gedung-gedung kota yang harus menyegarkan lagi dengan O2 (zat asam) semua polusi CO2 ekonomisasi dan materialisasi.

Yang kedua, kehendak dan kemauan sadar pers; TV untuk memberi ruang-ruang humaniora. Mengapa? Karena humaniora adalah penciptaan ruang-ruang seni dan publik agar kemanusiawian religius kita; estetis dan kognisi mendapat tempat bertumbuh dan tidak dikerdilkan oleh kalkulasi untung-rugi ekonomis; atau pragmatisme.

Sisi-sisi humaniora yang diwujudkan dalam kolom-kolom dan ruang budaya, seni, apresiasi estetika menajamkan kepekaan hati dan jiwa estetis manusia untuk bergaul bersama lebih manusiawi. Lewat dongeng anak-anak; kreasi imajinasi-imajinasi dalam lukis dan ekspresi akan membuat dimensi manusiawi kita lebih mendalam dan lebih batin.

Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2008

0 comments:

Post a Comment