Monday, September 12, 2011

Etika Kenegaraan Calvin

By: Benni E. Matindas

Tahun 2009 yang segera berakhir ini menandai, antara lain, peringatan internasional 500 tahun Calvin. Pendeta kelahiran Prancis tahun 1509 bernama asli Jean Chauvin, tonggak utama perampungan konsep gerakan reformasi gereja.

Kebesaran Johanes Calvin dikenang selamanya berkat karya-karyanya yang bermanfaat nyata dengan jejak-jelejaknya yang tak ‘kan pernah hapus. Ia mengusahakan penataan segenap aspek kehidupan manusia sebagai ungkapan iman sejati, termasuk di dalamnya tatanegara. Dan konsep tatanegaranya sudah menjadi rintisan bagi sederet raksasa pemikir ilmu negara seperti Jean Bodin (1530-1596) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang masing-masingnya pun kemudian sudah menjadi perintis dan peletak dasar dari begitu banyak pemikiran untuk kehidupan bernegara yang lebih menjamin kemanusiaan yang sehat dan berharkat.

Dengan merujuk ayat-ayat dalam 1 Samuel 8 misalnya, Calvin menegaskan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin secara sebebasnya. Pemimpin negara tidak boleh lagi ditentukan sedari sononya oleh garis keturunan, sistem pewarisan jabatan, ataupun segala kepercayaan adikodrati yang mutlak-mutlakan. Ayat-ayat Alkitab pun tak kurang menjelaskan hakikinya hak-hak politik rakyat maupun keharusan adanya hukum yang membatasi wewenang penyelenggara negara. Dan sistem senat untuk mengarahkan dan mengawasi pemerintahan, sebagaimana dibuat Musa.

Meski semuanya mengacu pada kebenaran abadi yang sudah lama diajarkan wahyu Tuhan, tapi pada zamannya Calvin ternilai sangat revolusioner. Calvin segera terpandang sebagai salah satu peretas penting untuk sistem politik modern. Sistem demokrasi dan nilai-nilai kemerdekaan yang selama berabad-abad ini telah mengawal dan membawa Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa barat dan utara pada kemajuan fenomenal, diakui para sejarawan, sebagai jejak rintisan Calvin yang dulu langsung ia terapkan dalam sistem pemerintahan Genewa.

Pria luar biasa cerdas namun amat rendah hati ini bahkan sudah jadi alamat kekaguman sejak zaman dahulu. Oleh segala kalangan. Baik oleh pendeta puritan John Wesley (1703-1791), maupun filsuf ateis David Hume (1711-1776).

Kecuali mengenai satu hal: kasus Servetus. Ya, ahli fisika yang gemar berteologi asal Spanyol, Miguel Serveto, tahun 1553 dihukum bakar hidup-hidup atas tuduhan penyesat. Servetus punya pemahaman berbeda mengenai ajaran Trinitas, di samping protesnya terhadap pembaptisan kanak-kanak (tradisi dalam Gereja Katolik yang tetap dipegang para Reformator dengan diberi landasan teologi baru yang berinti pada solagratia).

Umumnya pengagum Calvin akan berupaya memaklumi tindakan tersebut. Hukuman bakar memang sangat lazim dalam abad di zaman itu. Sudah tak terhitung jemaat — termasuk pengikut Calvin sendiri — yang dijatuhi hukuman bakar oleh pemerintahan gereja mayoritas, dan sebaliknya, dengan tuduhan penyesat atau penganut ajaran sesat. Bahkan tak jarang penguasa sampai mengeluarkan aturan mengenai cara pembakaran, yakni dengan nyala api yang tak boleh besar agar si terhukum tak langsung mati dan lebih lama menderita kesakitan luar biasa. Tapi banyak pula pengagum Calvin lain, sebaliknya, tetap menilai kasus Servetus itu sebagai cedera atas citra sang demokrat.

Penyesatan memang masalah besar bagi pemimpin agama. Gereja, juga negara, harus mencerdaskan warga. Ajaran harus dijaga. Ini salah satu fungsi utama gereja, magisterium. Yesus sendiri begitu memurkai penyesat. Harus dimusnahkan dari muka bumi, lebih baik mereka ditenggelamkan ke dasar laut dengan batu kilangan yang diikatkan di kaki!

Demokrasi berarti memberi kebebasan bagi pendapat dan ajaran apapun. Jangankan ajaran sesat, pelbagai ideologi anti-demokrasi diberi tempat kendati setelah berkuasa mereka pasti memberangus demokrasi itu sendiri. Dilema? Jelas!

Tapi ada kuncinya. Pencerdasan dan pengajaran warga yang dilakukan dalam sistem negara yang benar harus pada pengajaran dan penanaman nilai kasih sebagai jalan satu-satunya membentuk manusia cerdas kreatif-konstruktif. Pribadi yang cerdas kreatif akan niscaya menjauh dan dijauhi ajaran anti-demokrasi, apalagi segala ajaran sesat. Dan hukuman mati atas siapapun hanya akan tereksekusi melalui proses yang seadil-adilnya demi mengasihi serta melindungi lebih banyak manusia lainnya.

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2009

0 comments:

Post a Comment