Tuesday, September 6, 2011

Keluarga

By: Yonky Karman Ph.D

Dalam kata pengantar buku yang ditulis Pendeta Herodion P. G., Mopi, Babu, dan Farisi, tertulis penghargaannya kepada sang orangtua.

untuk ayahku: Go Tjoe Lok
yang demi kasih dan ketaatannya kepada Allah telah rela mengubur mentah-mentah cita-citanya (agar paling tidak, nanti salah satu putranya menjadi ahli medis kebanggaan hati)
dan untuk ibuku: Ong Tjiang Nio
yang sebagian dari hidupnya dilalui untuk mengunyah pelan-pelan kepahitan dan kegetiran yang menghadang perjalanan sang putra (atas kehendak Allah kedua putranya menjadi pendeta)

Sang pendeta dibesarkan dalam lingkungan sebuah eluarga saleh. Orangtuanya memiliki tekad yang dimiliki Yosua, “Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN” (Yos. 24:15). Penerus Musa ini memastikan akan memimpin keluarganya, sebab mereka lingkungan terdekat yang dapat dipengaruhinya. Itu tekad yang mesti dimiliki orangtua. Memiliki keluarga saleh.

Ada orangtua yang merasa biasa saja dengan anaknya yang sudah pergi ke gereja tiap Minggu atau bisa berdoa sendiri. Namun, mereka membanggakan anaknya yang les bahasa ini dan itu atau yang sudah akrab dengan komputer. Untuk semua itu, orangtua rela membayar mahal. Tidak peduli apakah karena terlalu banyak belajar akhirnya sosialitas anak menjadi kurang berkembang.

Kita hidup di era yang mudah merenggangkan ikatan kekeluargaan. Orangtua bekerja keras siang malam. Sepanjang hari anak nyaris didampingi pengasuh. Orang¬tua lebih berfungsi sebagai pencari nafkah daripada teman bermain anak, pendamping atau pembimbing rohaninya. Anak dibiarkan saja berguru dari kotak ajaib yang ernama televisi. Perkataan kasar, kekerasan, atau adegan sadis dibiarkan menodai kemurnian anak. Kemurnian yang sekali hilang tak kembali lagi.

Tidak cukup hanya menjadi orangtua yang saleh, seperti Imam Eli, tetapi anak-anak juga harus saleh. Keluarga saleh. Untuk itu, komitmen harus kuat, “Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN.” Bagi keluarga Kristiani, tiada agenda lain yang lebih penting daripada membentuk keluarga saleh.

Pakar manajemen Peter F. Drucker berkata, “Unless commitment is made, there are only promises and hopes; but no plans.” Tanpa membuat komitmen, yang ada hanya janji dan harapan, tanpa realisasi. Maka, komitmen untuk mem¬bentuk keluarga saleh harus ditindaklanjuti dengan rencana dan aksi nyata. Tidak perlu muluk, asal konkret. Keber¬samaan dalam ibadah keluarga beberapa menit namun dilakukan dengan konsisten dari hari ke hari adalah sebuah permulaan yang baik.

Ketika putra kami berusia dua tahun lebih, kami mengikut¬sertakannya dalam doa malam sebelum tidur. Selain bersyukur untuk hari itu, diselipkan satu dua permintaan lain. Ketika si kecil sudah bisa memimpin doa untuk semua, tiap malam ia selalu mau memimpin doa. Dengan tersenyum saya berkata kepadanya, “Kapan giliran Papa?” Mungkin ia berdoa baru sebatas suatu kesenangan atau ingin pamer. Yang penting, ia sudah belajar berdoa. Saat doa bersama, anak ikut mendoakan nenek yang masih di luar negeri, sahabat kami yang akan menjalani operasi tumor otak, dan lain-lain. Kami juga belajar bersyukur untuk jawaban doa yang positif.

Salah satu bentuk kebersamaan yang indah adalah membacakan cerita untuk anak sebelum ia tidur. Hingga kini, saya masih melakukannya. Kadang-kadang ia sedikit kecewa karena sang ayah mangkir melakukannya karena satu dan dua hal. Yang indah, kebersamaan dalam keluarga membentuk keterbukaan.

Keluarga adalah tempat terbaik untuk membentuk integritas pribadi. Keluarga adalah sekolah kewajiban yang dibangun di atas kasih. Keluarga adalah tempat ketulusan diuji ketika ada yang harus mengaku salah dan meminta maaf. Keluarga adalah tempat berteduh kala badai kehidupan mengamuk. Keluarga saleh harus mulai dari diri sendiri. Komitmen dan konsistensi kita. Keseriusan menginvestasi waktu. Keluarga adalah gerbang pertama orang dinyatakan lulus ujian kesalehan.

Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2008

0 comments:

Post a Comment