Monday, September 12, 2011

Dietrich Bonhoeffer

By: Andar Ismail, M.Th, Ph.D.

Pada tanggal 9 April 1945 subuh, beberapa orang terpidana hukuman mati berjalan menuju tiang gantungan di penjara Flossenburg. Seorang di antara terpidana itu berusia setengah baya, berkaca mata, berdahi botak dan tampak sangat terpelajar. Sebelum menaiki tangga tiang gantungan ia berlutut dan berdoa. Beberapa menit kemudian lehernya dikalungi tali. Lalu tubuhnya terkulai lemas. Dokter yang mengamati orang itu kemudian berkata, “Saya hampir lima puluh tahun berdinas, tetapi baru sekarang aku melihat orang yang menghadapi maut dengan sikap begitu pasrah kepada Tuhan.” Terpidana yang baru meninggal di tiang gantungan itu adalah Dietrich Bonhoeffer, pakar teologi Jerman terkemuka yang buku-bukunya sampai sekarang dibaca oleh mahasiswa teologi di seluruh dunia.

Dietrich Bonhoeffer lahir pada tahun 1906 dalam keluarga bangsawan Jerman. Ayahnya seorang psikiater terpandang di Universitas Berlin. Ibunya adalah anak pendeta istana Kaisar Willem.

Sejak di sekolah menengah umum, Bonhoeffer sudah belajar bahasa Yunani. Ia membaca Alkitab sehari-hari langsung dari bahasa Yunani. Kemudian ia masuk seminari teologi. Dengan kecepatan di luar kelaziman, ia menyelesaikan studi sampai di jenjang S-3. Pada usia 22 tahun ia menggembalakan jemaat. Ia juga mengarang beberapa buku untuk menguatkan iman umatnya menghadapi keadaan yang sedang menimpa Jerman.

Ketika itu Jerman sedang terpuruk. Ekonominya hancur. Nilai mata uang dan sahamnya jatuh. Pabrik-pabrik tutup. Buruh menganggur. Sandang pangan habis. Jerman kehilangan rasa yakin dirinya. Di tengah situasi itu muncul partai bernama National Sozialist (disingkat Nazi). Partai Nazi melontarkan semboyan cinta bangsa. Lalu ditimbulkan rasa benci terhadap bangsa lain, termasuk terhadap jutaan orang Yahudi yang bermukim di Jerman. Ternyata semangat itu mendapat sambutan hangat. Timbullah suasana patriotik yang sempit dan Partai Nazi semakin mendapat banyak suara di pemilihan umum. Lalu pemimpin partai itu, Adolf Hitler, terpilih menjadi perdana menteri dan kemudian menjadi presiden dengan kekuasaan mutlak. Banyak pendeta tertarik gagasan ini apalagi Hitler menjanjikan bantuan kepada gereja.

Terhadap situasi ini Bonhoeffer berteriak keras. Ia meminta gereja agar tetap menjadi gereja dan tidak membiarkan diri menjadi alat pemerintah.

Namun seruan Bonhoeffer tidak didengarkan oleh para pemimpin gereja. Akibatnya gereja terpecah dua. Sebagian besar mendukung Hitler dan disebut Gereja Negara sedangkan sebagian kecil menentang Hitler dan disebut Gereja yang Mengaku. Salah satu bentuk kesaksian Gereja yang Mengaku adalah memberi perlindungan kepada orang Yahudi yang diburu pengikut Nazi. Gereja ini juga mendirikan seminari teologi sendiri di Finkenwalde. Pada masa ini Bonhoeffer menulis bukunya yang terkenal yaitu The Cost of Discipleship.

Dalam buku itu Bonhoeffer menulis bahwa Kristus memberi anugerah kepada kita; bukan anugerah yang murah melainkan anugerah yang mahal. Anugerah yang murah adalah anugerah tanpa harus menderita dalam mengikut Yesus. Sebaliknya, anugerah yang mahal menuntut pengorbanan, yaitu hidup kita sendiri, dalam mengikut Yesus.

Sementara itu, propaganda Nazi semakin merasuk masyarakat. Kebencian terhadap orang Yahudi terus ditiupkan. Puncaknya terjadi tanggal 10 November 1938. Pada hari itu secara serentak di tiap kota pengikut Nazi merusak, menjarah dan membakar sinagoge, rumah dan toko orang Yahudi. Polisi hanya menonton dari jauh. Pada malam itu Bonhoeffer terpaku di depan Mazmur 74:8 yang berbunyi: “Mereka berkata dalam hatinya: ‘Baiklah kita menindas (Ibr.: yonach = menghancurkan , merampas, menjarah) mereka semuanya!’ Mereka membakar segala tempat pertemuan Allah di negeri.”

Karena seminari Finkelwade ditutup polisi, Bonhoeffer bekerja di Dinas Penerangan Militer. Di kantor ini ada sejumlah perwira militer yang sudah muak dengan kediktatoran Hitler. Sudah jutaan orang dibunuh atas “wejangan” Hitler. Untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban, Bonhoeffer dan beberapa orang lain menyusun rencana pembunuhan Hitler. Bonhoeffer menyadari bahwa membunuh adalah keliru, tetapi hati nuraninya memutuskan bahwa membunuh seorang pembunuh supaya pembunuh itu berhenti membunuh jutaan orang lainnya adalah ultima ratio atau pilihan terakhir yang terpaksa.

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2009

0 comments:

Post a Comment