Monday, September 12, 2011

EMPATI

By: Dr. Xavier Quentin Pranata, MACE

Sydney. Spring. Sore. Saat itu hujan turun rintik-rintik. Bersama istri dan tiga orang sahabat, saya berlari-lari kecil mengejar feri yang akan membawa kami dari Circular Quay ke Manly. Di tengah jalan yang dingin dan berangin itulah saya melihat seorang pria aborigin bertelanjang dada menari-nari untuk menarik perhatian orang di seputar Sydney Cove. Seorang rekannya memainkan didgeridoo (semacam alat tiup besar) sambil duduk dan mengenakan mantel tebal. Saya gamit lengan Susan, istri saya, sambil berbisik, “Lihat, apa dia tidak kedinginan?” Sambil menoleh, istri saya menjawab, “Sudah terbiasa ‘kali!”

Terus terang, jawaban itu kurang memuaskan saya. Namun, saya sendiri tidak bisa memberi jawaban yang pasti. Yang jelas, dia rela melakukan apa saja demi sesuap nasi. Meskipun saat itu Sydney sudah memasuki spring, udara masih dingin menggigit, apalagi di tepi laut. Saya saja tidak pernah melepaskan jaket. Meskipun demikian, jika direnungkan lebih dalam, kata-kata isteri saya ada benarnya. Pengamen jalanan itu bisa mengenakan celana dalam saja di cuaca yang begitu dingin karena sudah biasa melakukannya. Di sisi lain, kita pun bisa terbiasa menghadapi kesusahan orang lain dengan hati yang membeku. Nurani kita mati.

Empati kita secara perlahan tapi pasti ikut terbang bersama angin pencobaan dan badai penderitaan atau—yang sebaliknya—sudah tenggelam oleh keinginan mata, keinginan daging, dan keangkuhan hidup. Karena bencana alam semakin lama semakin sering menimpa bumi kita yang semakin renta, kita jadi kebal saat mendengar kata ‘sumbangan’. Bisa juga karena kita dibuai oleh kenikmatan hidup sehingga susah meninggalkan comfort zone kita. Nurani kita begitu tebal sehingga sulit tersentuh dengan penderitaan sesama. Kita bahkan lebih sering ‘tertawa di atas penderitaan orang lain’.

Saya pun merasa tertempelak saat merenungkan hal itu. Hal ini mengingatkan saya saat makan siang bersama dua pasang suami-istri asal Tiongkok. Saat itu saya baru saja mengunjungi Cockington Green, yaitu taman miniatur bangunan bersejarah di seluruh dunia yang ada di Canberra. Sebelum menuju Parlemen House, kami singgah makan siang di sebuah chinesse restaurant. Saya, istri, Stephen, dan Sienny duduk bersama pasangan suami-istri paruh baya bersama anak dan menantu mereka. Di tengah-tengah makan, tiba-tiba sang istri bersin. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, cairan dari mulut dan hidungnya menyembur keluar dengan deras serta menghujani makanan di atas meja. Saya dan istri langsung berhenti makan. Saya melihat wajah keempat orang itu—terutama sang ibu—pucat. Ada rasa bersalah di dalam diri mereka.

Saat saya renungkan kembali peristiwa itu, saya sedih sekaligus menyesal. Mengapa? Karena secara spontan saya tersenyum. Bukankah itu jahat? Jika saya yang mengalami hal itu, dan ada orang yang tersenyum ke arah saya, tidakkah saya merasa sangat bersalah? Atau malah tersinggung dan marah?

Itulah sebabnya saya setuju dengan apa yang pengkhotbah katakan bahwa pergi ke rumah duka lebih baik daripada ke rumah pesta. Mengapa? Di rumah dukalah kita bisa belajar berempati karena kita pun kelak akan masuk ke tempat perhentian kekal. Saya pun kagum dengan definisi Alkitab tentang empati: “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12:15). Saat kita merayakan Natal pada bulan ini, tidakkah kita ingat bahwa kelahiran Yesus juga membawa tangisan ibu-ibu yang kehilangan anak kecilnya? Mari merayakan Natal dengan hati yang berempati dan berbagi.

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2009

0 comments:

Post a Comment