Saturday, September 10, 2011

Negara Allah

By: Benni E.Matindas

Plato mengajukan ide yang menurutnya laksana gelombang badai menggoncang. Kendati begitu banyak idenya yang baru dan besar. Tapi yang ini, yang ditulisnya dalam kitab Politeia [terjemahan Inggrisnya: Republic, terjemahan Indonesianya oleh Abikusno Tjokrosujoso tahun 1952: Negara Sempurna], memang mengejutkan. Plato (427-347 sM) menggagas: kepala negara haruslah seorang filsuf.

Memang ide yang sama sekali baru, menggoncang pemikiran. Sebelumnya peradaban manusia hanya mengenal para conqueror yang jadi pemimpin negara. Orang-orang yang bisa menaklukkan sebanyaknya manusia, mampu membantai sebanyaknya orang-orang yang menghalangi nafsu berkuasanya.

Jangankan pada lebih dua ribu tiga ratus tahun silam, sekarang ini pun ide tersebut masih terasa kejutan (yang benar dan dibutuhkan) di tengah alam politik yang hanya menampilkan para pemimpin yang mengandalkan kekuasaan uang dan mengandalkan kekuasaan untuk mengangkangi sebanyaknya uang.

Filsafat, sebagai aktivitas mencari kebenaran tertinggi, akan membuat seorang pemimpin lebih jujur. Filsafat, sebagai krida menghargai dan membela kebenaran, akan membuat pemimpin lebih adil. Filsafat akan mengarahkan visi negarawan ke arah yang lebih benar dalam memaslahatkan bangsa.

Karena merupakan paradigma yang sama sekali baru, ide itu sudah dianggap jelas meski hanya dengan garis besarnya saja: bahwa kepala negara yang terbaik adalah filsuf. Kefilsafatan itu saja yang diingat — apalagi Plato sendiri memang seorang filsuf besar. Itulah sebabnya kemudian orang suka memperhadapkan teori Plato tersebut dengan antara lain teori Al Farabi. Plato dibilang menjagokan filsuf sebagai kepala negara, sedang Al Farabi mengusulkan rohaniwan. Plato mengagungkan akal, dipertentangkan dengan Al Farabi yang mengandalkan iman. Padahal tidak begitu.

Filsuf yang diusung Plato untuk memimpin negara tentu saja adalah filsuf dengan filsafat Plato yang menyatu dengan spiritualitas, mistik, ketuhanan. Tak mungkin filsuf macam Nietzsche yang “membunuh Tuhan”. Demikian sebaliknya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarakhan bin Uzalagh al Farabi (872-950), imam maupun dewan ulama hanyalah pada posisi kedua (rois thani), sedang kepala negara atau rois awal haruslah seorang filsuf yang mampu merenungkan kebenaran abadi dan mampu menunjuk jalan jelas bagi jiwa rakyatnya untuk bisa menyatu dengan budi kudus Tuhan sehingga mencapai Tuhan. Filsuf pun, kata Al Farabi, sebagaimana kata Plato, paling dapat diandalkan pikirannya bagi konsep pembangunan dan perundang-undangan yang paling tepat memenuhi kebutuhan.

Tapi banyak abad sudah berlalu, dan rakyat di semua negeri tetap digilas oleh negaranya sendiri, dan bahkan semakin sengsara lantaran alam habitat makhluk manusia sudah banyak tergerus dan yang tersisa sudah berubah bukan lagi sebagai lingkungan hidup tapi jadi lingkungan mematikan.

Plato dengan Politeia, juga Aristoteles dengan Politica, sudah memaparkan sistem negara ideal. Al- Farabi dengan Negara Utama atau Madinatu ‘Fadilah. Bahkan lima abad sebelum Al Farabi, Augustinus dengan Negara Allah atau Civitate Dei sudah tak percaya untuk menyerahkan kepemimpinan negara secara ex-officio pada filsuf maupun ulama. Bagi Augustinus yang penting harus bermental pelayan Allah, rendah hati, agar dapat sungguh berfungsi sebagai penyalur seluruh sifat baik Allah untuk kemaslahatan umat. Agar jadilah kehendak-Nya di bumi seperti di sorga.

Problem setiap negara hari ini masih mirip dulu. Kekuasaan negara silih berganti jatuh ke tangan para conqueror yang bukan saja tak dapat dikendalikan oleh lembaga pengawasan tapi malah diberi peluang untuk mampu melumpuhkan sistem pengawasan. Dan pangkal problemnya: asas dan tujuan negara tak pernah dirumus sebenarnya, sehingga patokan dan arah pengawasan gampang diselewengkan, dimanipulasi sesuka hati, ditekuk-tekuk demi kepentingan para penakluk.

Sumber: Majalah Bahana, November 2009

0 comments:

Post a Comment