Saturday, September 10, 2011

Sym-bollein

By: Manati I. Zega

Suasana mal sangat ramai. Banyak orang sedang berbelanja. Di pojok sana, berdiri seorang wanita. Usianya mungkin 30-an tahun. Nampaknya, ia seorang kristiani. Aksesori yang ia pakai membuktikan. Kalungnya salib. Antingnya pun salib. Sepintas terlihat sangat rohani. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan. Ia terkesan sebagai wanita sempurna.

Tak lama kemudian, kesan di atas langsung terhapus. Tiba-tiba dari dalam mal, satpam sibuk mengamankan wanita itu. Ia tertangkap basah, mengambil beberapa barang. Satpam mengetahui saat alarm pintu keluar berbunyi kencang. Rupanya, ia telah memasukkan beberapa barang di kantong celana pendek yang dikenakan siang itu. Ia mencuri. Tindakan kriminal yang mengharuskannya berurusan dengan aparat keamanan.

Pengalaman di atas saya alami saat berada di sebuah kota di Jawa Tengah. Hari Minggu itu, baru selesai melayani di sebuah gereja. Rekan hamba Tuhan, gembala jemaat setempat, mengajak jalan-jalan sekadar mengusir penat. Namun, kami tambah penat dan malu. Kepenatan dan rasa malu itu sungguh beralasan. Kami tidak menduga seseorang yang mengenakan simbol-simbol kristiani melakukan tindakan hina tersebut. Maka, saya pun berkesimpulan bahwa mengenakan simbol-simbol kristiani bukan jaminan kualitas iman. Perilaku wanita itu suatu paradoks. Simbol salib yang dipakai bertentangan dengan perilaku. Hanya anting dan kalungnya yang Kristen. Pemakainya jauh dari sikap kristiani. Tidak bermaksud menghakimi. Namun, perilakunya menunjukkan siapa wanita itu. Rupanya, kalung dan anting salib itu bertujuan mengelabui orang lain. Biar kelihatan rohani, sehingga tidak dicurigai. Namun, sikapnya sangat berlawanan. Seperti jauhnya langit dari bumi.

Simbol-simbol kristiani bukan garansi bahwa seseorang adalah Kristen sejati. Berdasarkan asal-usulnya, kata simbol berasal dari kata kerja bahasa Yunani sym-bollein (sumbollein). Kata itu berarti mencocokkan atau menghubungkan dua bagian atau entitas yang berbeda. Konon, dalam tradisi Yunani kuno, pada waktu dua orang mengadakan perjanjian, mereka kerap kali memeteraikan perjanjian itu. Biasanya, mereka memecahkan sesuatu. Misalnya: memecahkan sebuah lempengan atau benda dari tanah liat. Setelah lempengan terbelah dua, masing-masing pihak menyimpan satu bagian. Bila di kemudian hari terjadi sesuatu, mereka tinggal mencocokkan bagian dari barang itu. Ketika pecahan barang dicocokkan, terlihatlah keasliannya. Bila tidak cocok, pasti bukan yang asli. Bisa saja perjanjian itu dianggap tidak sah. Maka, patokannya harus cocok ketika kedua lempengan itu dihubungkan.

Simbol tidak boleh terpisah dari yang diwakilinya. Ketika melihat bendera merah putih, orang langsung berpikir, Indonesia. Merah putih mewakili NKRI. Ketika orang melihat salib, orang langsung berkata, Kristen. Maka, bila orang mengenakan aksesori salib seharusnya karakternya sepadan dengan Kristus. Ia mengilustrasikan Kristus dalam hidup sehari-hari. Tepatlah tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia” (2 Kor. 3:2-3). Sebelum Paulus, dalam pengajaran di Bukit, Yesus pernah menegaskan: “Kamu adalah garam dan terang dunia” (Mat. 5:13-14). Garam dan terang, kebutuhan setiap hari. Sudahkah menjadi garam dan terang? Atau, hanya puas dengan penggunaan simbol-simbol?

Sumber: Majalah Bahana, November 2009

0 comments:

Post a Comment