Friday, September 9, 2011

Sembilan Tambah Satu

By: Manati I. Zega


Tanpa pemberitahuan awal, kematian dapat menimpa siapa saja. Bila waktu-Nya telah tiba, Tuhan dapat memanggil seseorang untuk kembali kepangkuan-Nya. Namun, terkadang keluarga belum siap menerimanya. Kondisi itu dapat menimbulkan duka mendalam. Penelitian membuktikan, kematian pasangan hidup dapat menyulut dukacita. Tidak tanggung-tanggung, dukacita menempati posisi teratas. Kebenaran ini dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Gereja tahu persis akan hal ini. Maka, untuk menghibur keluarga yang berduka, biasanya diadakan kebaktian-kebaktian khusus. Harapannya, keluarga terhibur dan dalam waktu dekat dapat melakukan aktivitas secara normal.

Kesedihan hinggap dalam keluarga Betsy Holton. Sang suami—Edwin Moody menghadap Sang Khalik. Wajar bila sang istri berduka. Kepergian belahan jiwa menambah beban Betsy. Selain menjadi ibu, ia sekaligus berperan sebagai ayah. Ditambah pula oleh tekanan ekonomi yang kian menindih. Ketika meninggal, Edwin Moody tidak meninggalkan apa-apa karena tidak punya apa-apa. Kala menghadap Tuhan, ia meninggalkan sembilan orang anak dan satu Kitab Suci. Harta lain ia tak punya. Edwin dan Betsy hidup miskin.

Kala beban menekan hingga ke titik nadir, Betsy pun bingung. Ia hanya bisa meneteskan airmata layaknya perempuan lain di seantero jagad. Orang-orang yang tahu penderitaannya memberi saran. Saran itu adalah anak-anaknya lebih baik dititipkan kepada orang yang ekonominya mapan. Sepintas saran itu logis. Namun, naluri seorang ibu membantahnya. Ia sangat mengasihi kesembilan anaknya. Kemiskinan tidak mengurangi kadar kasihnya. Lalu, bagaimana dengan penderitaan yang menghimpit? Itulah masalahnya.

Suatu malam ketika anak-anak tertidur pulas, ia memandangi mereka dengan kasih. Lantas, ia bertanya: “Manakah yang akan dititipkan terlebih dahulu?”. Lagi-lagi, nalurinya berbicara. Nalurinya berontak! Ia tak rela anak-anak itu dipelihara orang lain. Dalam kegalauan, tak terasa ia menitikkan airmata. Pikirannya menjadi buntu.

Di tengah keputusasaan, ia meraih Kitab Suci—harta sang suami. Matanya tertuju pada satu ayat yang tertulis dalam Yeremia 49:11. Ayat itu mengatakan: “Tinggalkanlah anak-anak yatimmu, aku akan menghidupi mereka; biarlah janda-jandamu menaruh kepercayaan kepadaku!”. Firman itu meneduhkan hati. Menenteramkan jiwa yang gundah. Di samping ayat tersebut Betsy menuliskan komentar, “Bila aku menjalankan fungsi sebagai ibu dengan sebaik-baiknya, aku yakin Tuhan menjadi ayah bagi anak-anakku.” Selesai membaca ayat itu, Betsy memutuskan untuk tidak membiarkan anaknya dipelihara oleh siapa pun. Betsy percaya bahwa masa depan anak-anaknya ada dalam tangan pemeliharaan Tuhan.

Apa yang terjadi berikutnya? Apakah masalah langsung selesai? Ternyata tidak! Masalah tak serta merta rampung. Namun, Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya. Dia membela firman-Nya. Happy ending dialami Betsy. Anak-anaknya berhasil. Di antara sembilan anak, ada seorang yang terkenal sebagai tokoh kebangunan rohani abad ke-19. Sejarah Gereja mencatat, Eropa dan Amerika digemparkan dengan kebangunan rohani. Di mana-mana ia mengadakan kebangunan rohani. Siapakah orang yang dimaksud? Ia adalah Dwight Lyman Moody. Terkenal dengan sapaan Dwight L. Moody. Pemikiran dan buku-bukunya amat berpengaruh. Pengaruh itu masih terasa hingga abad ini.

Siapa nyana, anak perempuan miskin itu menjadi orang berpengaruh? Secara logika sulit dipahami. Namun, itulah fakta. Di tangan Allah, yang hina jadi mulia. Yang terabaikan dipakai untuk mempermalukan yang berhikmat. Karena itu, siapa pun kita, bila kita setia pada firman-Nya, Dia pasti menolong. Di sepanjang sejarah, tangan-Nya telah berpengalaman untuk menolong yang lemah tak berdaya.

Sumber: Majalah Bahana, September 2009

0 comments:

Post a Comment