Friday, September 9, 2011

Hidup Melajang, Pilihan yang Harus Diuji

By: Pdt. Simson Pudjianto, S.Th \ny19

Begitu selesai menciptakan alam semesta, Tuhan tiba pada mahakarya-Nya yang sangat mengagumkan: manusia. Ciptaan Tuhan dari hari pertama hingga terakhir disebut-Nya baik.

Namun, usai menciptakan manusia Tuhan mengeluarkan satu pernyataan ... “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18). Maka, dapat dikatakan bahwa merupakan kehendak Allah manusia itu menikah.

Dalam perkembangannya, tidak sedikit yang karena alasan tertentu memilih tidak menikah. Mereka yang menyebut diri lajang ini mendapat tempat yang istimewa dalam Alkitab. Sebut saja Rasul Paulus dalam Perjanjian Baru (PB), atau nabi-nabi dalam Perjanjian Lama (PL).

Tetap Dalam Firman
Pemazmur mengatakan: “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu. Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu.” (Mzm. 119:9-10)

Lajang bukan hanya status tidak menikah. Namun, terkait dengan kelakuan. Tidak melakukan kumpul kebo, melacurkan diri atau berhubungan seks dengan siapa saja. Ini lajang menurut Alkitab.

Soal Rasul Paulus perlu dimengerti bahwa ia memilih menjadi lajang terkait dengan tugasnya yang berat. Dan, rasul ini enjoy dengan pilihannya. Pengertian selanjutnya dengan contoh Rasul Paulus dikaitkan dengan karunia. Secara pribadi saya kurang sepaham dengan pengertian itu.

Rasul Paulus melakukannya atas keputusannya sendiri. Ia juga tidak secara khusus menyebut yang mana bagian hidupnya yang merupakan karunia. Pelayanannya atau pribadinya. Perlu kajian yang lebih mendalam.

Harus Diuji
Penulis Injil Matius menyebutkan bahwa “ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti” (Mat. 19:12).

Tidak sedikit orang yang melajang karena terpaksa. Mereka menerima keberadaan ini dalam selimut keputusasaan. Padahal kalau dicermati dengan sungguh, begitu banyak cara agar dapat memiliki pasangan.

Adam dan Hawa merupakan perkecualian karena mereka tidak memiliki ayah-ibu dan mertua. Jadi, Tuhan sendiri yang turun tangan. Namun, kita bisa mencontoh Abraham yang mempercayakan hambanya untuk mencari istri bagi Ishak.

Pada sisi inilah, hemat saya, pentingnya perantara. Perantara ini merupakan bagian dari usaha “...carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu...” (Mat 7:7)

Akan tetapi, pada intinya pelaku sendiri harus berperan aktif. Minimal memiliki daya tarik yang tidak harus merupakan bentuk fisik. Seringkali orang yang memiliki kepahitan akan tercermin juga pada raut wajah dan perilakunya. Artinya, penampilannya kurang menarik. Kalau penampilan kurang menarik, maka ia kesulitan mendapatkan jodoh.

Bila ada yang mengambil keputusan untuk melajang, perlu pembuktian. Pembuktian ini melalui proses–waktu yang akan membuktikannya. Tidak dapat divonis dalam jangka waktu tertentu. Bisa jadi karena dikecewakan pacar, ia kemudian memutuskan untuk melajang. Ini namanya melajang karena kepahitan. Tidak tulus. Prematur.

Proses pengujian ini dimulai ketika yang bersangkutan mengenal lawan jenis. Ke¬mudian bagaimana ia mencermati proses berpacaran atau pergaulan anak muda yang terjadi pada dirinya atau orang lain. Cemburu? Marah? Atau biasa saja? Tidak memunculkan sentimen negatif. Selain itu pelaku perlu memahami perasaannya ketika bersentuhan dengan lawan jenis. Tentu ujian ini tidak berlaku untuk homo dan lesbian.

Akhirnya dari proses pembuktian itu, pilihan melajang nantinya akan mendapat pembenaran.

Sumber: Majalah Bahana, September 2009

0 comments:

Post a Comment