Thursday, September 8, 2011

Ekonomi [Anti-] Kerakyatan

By: Benni E.Matindas

Mudahkah menemukan pemimpin negara, atau calon pemimpin, yang program pembangunan ekonominya tidak untuk rakyat? Tidak. Kecuali penguasa monarki yang sakit jiwa, yang dalam zaman feodalisme, yang pula hanya lebih kita kenal lewat dongeng dan hikayat rekaan. Sebab dalam dunia nyata, justru kaum bangsawanlah yang, dengan noblige oblige-nya, sering lebih sungguh peduli rakyat ketimbang segala “pejuang politik kerakyatan” dan “partai demokrasi rakyat”.

Bahkan Adam Smith — peletak dasar filsafat bagi system ekonomi liberalisme yang dituding menyuburkan kapitalisme liar serta memelaratkan secara pasti warga dalam jumlah yang selamanya jauh lebih banyak disbanding mereka yang bermodal — teorinya pun sepenuhnya ditujukan untuk kemakmuran seisi bangsa setiap bangsa. Begitu jua Milton Freidman yang dipandang sebagai nabi neo-liberalisme berdarah dingin.

Sementara para ekonom sosialis dan komunis — baik yang mengaku sosialismenya dari ajaran Yesus seperti Saint-Simon dan Tawney maupun yang Marx dan Lenin yang melihat ajaran Yesus sebagai penghalang komunisme — yang menilai ekonomi liberal sebagai iblis sejati, terbukti gagal menyediakan makanan buat rakyat. Sastrawan HB Jasin sampai rasa kembung dan mual oleh karya-karya Pramudya Ananta Toer yang terlalu banyak kata “rakyat”. Untuk mengejek Manifesto Komunis Marx, tak kurang dari pemikir sekaliber Mortimer Adler dan WW Rostow sengaja memberi judul buku masing-masingnya Manifesto Kapitalisme dan Manifesto Anti-Komunis.

Kita di Indonesia mulai mendengar istilah “ekonomi kerakyatan” secara eksplisit sejak Adi Sasono sering mengucapkannya. Baik semasih aktivis LSM maupun setelah menjabat menteri. Berkat gigihnya berjuang, “ekra” sampai dikukuhkan dalam Tap MPR No.XVI/1998. Banyak hambatan buat mewujudkan konsep mulianya itu. Tak kalah banyak pula ekonom — seperti Kwik Kian Gie dan Dorodjatun Kuntjorojakti — yang skeptis. Ada yang menilainya tak realistis. Adi sendiri bukan tak tahu sulitnya memulai di tengah rimba hiperkapitalisme yang disuburkan selama puluhan tahun Orde Baru. Tapi di depan matanya segelintir warga hidup berlimpah kemewahan di tengah puluhan juta sesama warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Ekra-nya Adi pun bukan sekadar retorika yang belum jelas rangka bangunan logikanya. Konsep Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat dari David C. Korten, begitu muncul 1983, kendati masih berupa makalah, langsung diterbitkan Adi dengan tajuk Pembangunan yang Memihak Rakyat. Sistem sosial yang diusulkan Korten terbilang tuntas, dibanding umumnya wacana kritik kapitalisme yang biasanya kurang dalam hal pengajuan alternatif sistem. Rakyat sendirilah, melalui unit-unit terkecil di pedesaan, merancang ekonominya seturut kebutuhan konkretnya. Memang akan banyak hambatan, termasuk masalah taraf pendidikan. Namun sesuai teori sosial dari filsuf Habermas, melalui diskusi terbuka, mereka akan mencapai jalan-jalan yang paling benar dan sungguh dibutuhkan. Sekali perekonomian ditata dari atas, kepentingan rakyat akan jadi faktor yang niscaya tertunda hingga entah kapan, atau sekadar tetesan yang diharap tanpa kepastian dari pertumbuhan (trickle-down effect).

Tapi “rakyat” yang oleh teori Korten diserahkan sepenuhnya untuk memberi makan seluruh rakyat, adalah juga manusia yang dapat gagal mengembangkan produksinya. Juga manusia yang menikmati prestasi mengalahkan manusia lain. Seperti “rakyat” dalam teori Marx yang setelah berhasil merebut alat produksi dari kaum kapitalis, kata Milovan Jilas, bukannya bertujuan menghapus kelas-kelas sosial tapi malah mencipta kelas-kelas baru yang lebih jumawa sekaligus keji. Hanya daya kreatif, yang tumbuh dari perjuangan mewujudkan amal kasih, yang menjamin produksi. Dan memberi kepuasan produktif nonhedonistik pada manusia. Bukan kepuasan mengungguli serta memangsa sesama.

Sumber: Majalah Bahana, Juli 2009

0 comments:

Post a Comment