Thursday, September 8, 2011

Yesus datang untuk orang sakit

By: Yonky Karman Ph.D

Suatu kali, Matius (Lewi) menggelar pesta di rumahnya dengan mengundang Yesus dan para murid-Nya (Luk. 5:29). Sebagai pemungut cukai, ia menentukan nilai pajak untuk pemerintah Romawi atas barang bawaan orang yang lalu-lalang di sepanjang jalan raya Kapernaum, antara Akre di Laut Tengah dan Damsyik di utara. Penagih pajak tiap tahun menerima upah yang cukup banyak untuk membuatnya kaya. Mereka tidak disukai masyarakat Yahudi, sebab mereka bekerja untuk kepentingan penguasa asing yang terbilang kafir. Selain itu, mereka tidak peduli dengan tafsir dan praktik keagamaan orang Farisi. Secara agama, mereka dianggap orang berdosa.

Dalam pesta yang digelar Matius itu, terlihat Yesus makan bersama para penagih pajak. Makan bersama artinya bergaul erat. Dalam masyarakat Yahudi, guru agama berstatus terhormat. Orang Farisi sendiri tak bergaul dengan penagih pajak. Mereka mau mengajar penagih pajak, tetapi tidak mau makan bersama mereka. Kini, seorang guru agama makan bersama penagih pajak. Sebuah pemandangan tak pantas di mata orang Farisi. Maka, mereka mencela Yesus yang mereka anggap tak pantas makan bersama penagih pajak dengan melontarkan pertanyaan kepada para murid, “Mengapa gurumu makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa?”

Pertanyaan itu sengaja untuk didengar Yesus. Maka, Yesus menjawab, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib tetapi orang sakit.” Yang perlu dokter bukan orang sehat, tetapi orang sakit. Yesus tidak tersinggung dan juga tidak menegur mereka, sebab pada dasarnya Ia tidak memusuhi orang Farisi. Beberapa kali Yesus makan di rumah orang Farisi (Luk. 7:36; 11:37; 14:1). Yesus juga sahabat orang Farisi.

Yesus mau mengatakan demikian. Para penagih pajak terkucil dari masyarakat dan dipandang hina. Mereka seperti orang sakit dan perlu dokter. Jika orang Farisi yang merasa sehat tidak berbuat sesuatu untuk meringankan si sakit, jangan halangi si sakit yang mau sembuh. Persis Yesus datang untuk orang sakit. Para penagih pajak itu mendapat manfaat dari kehadiran-Nya, sebab mereka memperlakukan diri sebagai orang sakit. Orang Farisi tidak mendapat manfaat dari kehadiran Yesus, sebab mereka memperlakukan diri sebagai orang sehat. Lalu, Yesus menambahkan, “Selidikilah arti ayat Alkitab ini: Aku menghendaki belas kasihan dan bukan kurban binatang, sebab Aku datang bukan untuk memanggil orang yang menganggap diri sudah baik, melainkan orang yang dianggap hina.”

Ucapan ini tidak perlu disalah mengerti. Persembahan adalah bentuk konkret tuntutan agama. Belas kasihan juga dituntut agama, hanya saja bersifat batin dan tak terlihat. Yesus tidak memaksudkan persembahan sebagai tak penting. Tetapi, Ia hendak menegaskan belas kasihan sebagai sesuatu yang tak kalah penting sebagaimana ditunjukkan-Nya dalam makan bersama penagih pajak. Dari orang yang merasa diri benar dituntut belas kasihan dan kerendahan hati. Dan, orang Farisi tak dapat berbelas kasihan kepada penagih pajak. Mereka tidak berbuat sesuatu yang meringankan pesakitan rohani, sebab mereka merasa diri terlalu suci. Perasaan itu menghalangi mereka untuk berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan. Menjadi dokter bagi orang sakit.

Benar agama bertujuan agar orang menjadi lebih baik. Tetapi, merasa puas diri dan cepat menghakimi orang lain adalah penyakit orang beragama, seperti dengan baik digambarkan dalam sebuah perumpamaan Yesus (Luk. 18:9-14). Perasaan diri lebih baik bukan ukuran kebaikan yang sesungguhnya. Orang bisa salah menilai diri. Tugas manusia bukan menilai diri sendiri, tetapi melakukan kehendak Tuhan. Dalam melakukan kehendak Tuhan, perlu selalu merasa diri kurang. Jangan pernah datang kepada Tuhan dengan menepuk dada. Belas kasihan adalah inti iman. Anda menganggap diri baik? Kalau begitu, apakah kebaikanmu membuat orang lain menjadi lebih baik? Anda merasa diri kaya? Kalau begitu, apakah kekayaanmu membuat orang lain menjadi lebih baik?

Sumber: Bahana, Februari 2009

0 comments:

Post a Comment