Thursday, September 8, 2011

Negara Agama

By: Benni E.Matindas

Saban kali berlangsung kompetisi memperebutkan kursi kekuasaan penyelenggara negara, kepada para calon anggota parlemen maupun calon presiden selalu dipertanyakan, oleh kelompok-kelompok keagamaan, ihwal komitmen para politisi itu dalam melindungi kepentingan keagamaan kelompok konstituen. Ya, begitu selalu. Di mana pun, kapan pun. Di negara-negara Timur, juga di Barat. Baik di zaman ketika orang-orang seperti Arnold Toynbee sudah berbicara tentang ‘pasca-demokrasi’, maupun, dan terlebih, di zaman ketika orang-orang sekaliber Edmund Burke, GWF Hegel, dan sebagainya masih melihat demokrasi sebagai proposal sebuah proyek masa depan yang sangat tak jelas dan mengeruhkan tatanan kehidupan sehingga revolusi demokratisasi di Prancis yang sedemikian dahsyat pun dapat dengan cepatnya ditekuk oleh Napoleon.


Pertanyaan dari kelompok-kelompok keagamaan itupun selalu sama. Kelompok yang bersuara demi kepentingan kaum minoritas mempertanyakan komitmen para negarawan dalam membela hak-hak serta kebebasan beragama. Sedangkan suara dari kaum mayoritas menuntut jaminan untuk penegakan ajaran agama mereka menjadi hukum nasional. Dan muara konsekuensi dari wacana ini pun sama – kalau diskusi dikembangkan terus, kalau pihak minoritas terlalu minim dan minor sehingga gonggongannya dinilai tak perlu digubris khafilah yang berjalan terus – yaitu debat “negara sekuler versus negara agama”.

Upaya menjawab soal tersebut, kalau mengandalkan kekuatan militer seolah cepat beres. Ada yang melipat-lipat demokrasi demi alasan mendahulukan stabilitas pembangunan kemakmuran ekonomi, seperti di Indonesia selama puluhan tahun di bawah rezim militer “Bapak Pembangunan”, sehingga debat soal hubungan agama dan negara itu dapat dibungkam dengan rumus lucu-lucu “bukan negara agama bukan pula negara sekuler”. Ada pula jawaban berpola agak lain, yang dinilai “paling cerdas dan modern”, seperti yang diterapkan rezim militer “Bapak Turki” atau Ataturk (gelar untuk Mustafa Kemal). Ataturk secara konsekuen menerapkan negara sekuler, melalui strategi kebudayaan, dengan kawalan hukum yang dikawal pasukan militer. Strategi budaya itulah yang oleh kaum terpelajar sedunia dinilai bijak, mencerahkan, dan membawa sinar optimistis. Di dalamnya teori pemisahan negara dan agama, sebagaimana dianjurkan John Locke, ditanamkan layaknya ayat-ayat suci. Sehingga negara bekas Kesultanan Otomman itupun segera terpandang seperti kota di atas bukit yang bersinar. Banyak pemimpin di dunia yang kagum. Langkah Ataturk dituruti, ada yang bikin lebih demokratis. Juga Bung Karno di Indonesia.

Sekarang semua sudah lain. Sejarah sudah mengajarkan dengan bukti-bukti yang sangat lain. Janji proyek Ataturk bahwa bahwa dengan sistem negara sekuler akan justru mengembangkan agama-agama ternyata membuahkan hasil yang sangat lain. Kehidupan beragama Islam di Turki berkembang besar tapi sangat lain dengan yang diharapkan konsep awal. Belum lagi bila menghitung berapa banyak umat Muslim yang akhlak dan imannya jadi korban dalam eksperimen kebudayaan itu (lantaran bangsa Turki selama beberapa generasi ikut hanyut bersama tetangganya bangsa-bangsa Eropa dalam hal dekadensi moral). Di bawah tekanan militer, proses sekularisasi hanya menumbuhkan reaksi dan resistensi umat beragama mayoritas. Reaksi itu muncul, tentu dengan macam-macam rupa. Ada perjuangan politik agama, yang pada gilirannya menyuburkan fanatisme kelompok. Ada pula sikap intoleransi terhadap agama minoritas (beberapa wilayah Turki yang semula berpenduduk mayoritas Kristen sekarang jadi terbalik karena akibat-akibat reaktif dari strategi kebudayaan negara sekuler).

Begitu pula ayat suci John Locke bahwa negara yang mencampuri urusan iman warganya dapat menjadi penyesat yang tak terampunkan, sekarang harus dibaca lain. Kalau ada agama yang mempraktikkan ritual sex bebas?! Kalau ada agama yang mengamanatkan umatnya membantai umat agama lain, apakah negara tak boleh turun tangan?!

Jadi soalnya jelas, bagaimana menata negara yang lebih benar dan sesuai amanat Allah yang ditafsir secara benar. “Negarakertagama,” kata Mpu Prapanca.

Sumber: Bahana, Mei 2009

0 comments:

Post a Comment