Thursday, September 8, 2011

Berharap

By: Yonky Karman Ph.D

Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru. Mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya. Mereka berlari dan tidak menjadi lesu. Mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. (Yes. 40:30-31)



Ada dua paradoks dalam teks ini. Pertama, yang kuat, dalam hal ini diwakili orang muda dan teruna, kaum yang stamina fisiknya baik, digambarkan lelah dan lesu, bahkan jatuh tersandung. Dibuat lelah oleh kesulitan dari luar diri. Menjadi lesu karena kekuatan di dalam diri berkurang. Yang tampaknya kuat malah kelelahan dan berhenti berjalan.

Kedua, orang-orang yang tampaknya lelah malah terus berjalan dan menyelesaikan perjalanannya. Di mana rahasianya? Mereka mendapat kekuatan baru. Mereka yang lelah itu adalah umat Israel yang sedang mengalami krisis karena dihukum Tuhan dan kemudian di buang ke Babel. Namun, bukan tiada syarat untuk mendapat kekuatan baru. Mereka harus menanti-nantikan Tuhan. Hanya itu.

Verba qwh artinya menunggu, menanti-nantikan. Jika Tuhan menjadi obyek yang ditunggu (eksplisit maupun implisit), maka berharaplah maksudnya (NIV “hope”). Berharap di sini bukan tindakan membunuh waktu, tetapi mengantisipasi hasil positif. Dengan yakin berharap. Berharap bukan duduk dan pasif menunggu, tetapi aktif sebagaimana digambarkan dengan tindakan naik, berlari, dan berjalan. Kendati aktif, orang tidak menjadi lelah. Ia seperti selalu mendapat kekuatan baru. Ajaib!

Verba qwh Qal juga menegaskan aspek frekuentatif, perbuatan yang dilakukan berkali-kali. Dalam bentuk partisipel seperti di sini, berharap kepada Tuhan adalah orientasi total dan terus-menerus kepada Tuhan. Berharap kepada Tuhan adalah sebuah tema penting dalam Kitab Yesaya (Yes. 8:17; 25:9; 26:8; 30:18; 33:2; 49:23). Orang beriman mendasarkan harapannya pada kehadiran Allah dan amat merindukan intervensi Allah. Itulah sikap positif orang beriman saat diterpa krisis.

Para motivator mengidentikkan krisis dengan kesempatan untuk maju. Namun, sejujurnya siapa pun tidak mau masuk ke dalam situasi krisis. Krisis tidak enak. Situasi di mana yang lama sudah tidak ada, tetapi yang baru belum ada. Terpisah dari keadaan lama, namun belum terhubung dengan keadaan baru yang baik. Tanpa kontinuitas dengan masa lalu dan tanpa kontinuitas dengan masa depan, alhasil masa kini menjadi tak pasti. Peralihan tidak jelas akan berbentuk apa.

Mulanya krisis memang membuat orang berharap. Tetapi, orang dapat lelah berharap, kemudian tergoda menempuh jalan pintas. Bukan demikian jalan hidup orang yang berharap kepada Tuhan. Krisis nasional melanda Israel dan bangsa itu dibuang ke negeri asing. Umat di pembuangan merasa ditinggalkan Tuhan. Tuhan tidak peduli lagi. Krisis kepercayaan melanda umat. Krisis iman. Nabi Yesaya mengerti kelelahan umat. Maka, ia mendorong umat agar tidak lelah berharap. Hanya dengan itu, mereka mendapat kekuatan baru untuk terus berjalan hingga krisis berlalu.

Metafora rajawali terbang menarik untuk dielaborasi. Secara konvensional, rajawali dianggap burung terbesar (bnd. Yeh. 1:10; Why. 4:7). Bukan terutama terbangnya rajawali yang ditonjolkan, tetapi rajawali yang mengangkat sayapnya untuk terbang (NIV “soar on wings”). Rajawali terbawa tinggi bukan oleh sayapnya yang kuat, tetapi oleh arus angin yang mengangkat sayapnya yang kaku.

Demikian juga orang yang berharap kepada Tuhan. Mereka tidak terhempas ke tanah dalam ketidakberdayaan, tetapi mereka seperti rajawali yang membuat kaku sayapnya dan membentangkannya. Tanpa banyak tenaga, mereka bergerak pelan-pelan bagai perahu layar yang menjauh karena didorong angin. Itulah orang yang siap terbawa tinggi, di bawah oleh angin Roh Allah, melayang tinggi pada waktu Allah dan dengan cara Allah.

Sumber: Bahana, Mei 2009

0 comments:

Post a Comment