Friday, September 9, 2011

Belajar Bersahabat

By: Andar Ismail, M.Th, Ph.D.

Manusia adalah social animal atau hewan sosial. Artinya, kita adalah makhluk yang bergaul. Kita ingin berhubungan dan berteman. Gereja sebagai persekutuan merupakan wadah dimana persahabatan dan persaudaraan dikembangkan.

Dalam perkembangan usia, pola hubungan seseorang juga berkembang. Pola itu mulai jelas pada usia remaja dan terus bertahan sampai usia lanjut. Pola itu terdiri dari lima dimensi. Pertama, dimensi persamaan. Kita memilih teman yang mempu¬nyai persamaan kepribadian, nilai-nilai hidup, perilaku, minat dan latar belakang. Kedua, dimensi timbal balik. Kita mencari teman yang bisa saling mengerti, saling percaya, saling tolong, saling mengakui keunggulan dan saling memaklumi kelemahan masing-masing. Ketiga, dimensi kecocokan. Kita berteman karena merasa cocok dan senang berada bersama dia. Keempat, dimensi struktur. Kita mencari teman yang mudah dihubungi dan bisa langgeng. Kelima, dimensi model. Kita berteman karena kita respek dan mengagumi kualitas kepribadiannya.

Sejalan dengan berkembangnya kemampuan, kematangan, dan kebutuhan, pola hubungan antarorang berkembang dalam tujuh tahap.

Tahap bayi. Bayi berusia setahun terheran-heran melihat bayi lain. Ia tertarik pada temannya dengan cara meraba, menyentuh atau memukul. Ia ikut menangis ketika temannya menangis. Menjelang usia dua tahun, ia bisa menghibur temannya dengan cara membelai atau memberikan mainan. Bayi yang sekali-kali didekatkan pada bayi lain belajar berteman.

Tahap anak kecil (3-6 tahun). Pada tahap ini anak hanya melihat dari sudut pandang dan kepentingan sendiri. Ia mengukur teman dari faktor kebendaan. Perangai mulai tampak. Anak yang menerima cukup kehangatan, pujian dan perlakuan baik, akan lebih terbuka dan berprakarsa mendekati teman.

Tahap anak besar (6-12 tahun). Keberhasilan atau kegagalan berteman pada tahap ini akan mewarnai hidup kita seterusnya. Pergaulan dengan teman pada tahap ini membentuk kepribadian kita. Di sinilah letak faedah utama bersekolah. Anak yang mendapat ilmu secara pribadi di rumah, mungkin akan menjadi orang dewasa yang hipersensitif terhadap ejekan, isengan dan saingan, mau menang sendiri, sulit bergaul, dan sulit bekerja sama.

Tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun). Pada tahap ini, kita membentuk jati diri sambil menjauhkan diri dari pengaruh orangtua, sehingga pengaruh teman menjadi dominan. Kita mengalami sejumlah ambivalensi. Di satu pihak kita merasa mandiri, namun di pihak lain kita merasa bergantung, terutama pada teman.

Tahap dewasa muda (25-40 tahun). Jumlah kawan kita memuncak pada usia ini karena teman di lingkungan perumahan, kantor, gereja, dan sesama orangtua anak di sekolah. Biasanya pada usia ini kita sulit mempunyai intimasi karena tidak mau mencampuri urusan pribadi teman. Pergaulan yang sehat ditandai oleh teratasinya kesulitan itu, sehingga kita bisa intim dengan kawan namun tidak mencampuri urusan pribadinya. Mereka yang sudah menikah juga akan menikmati “persahabatan ganda”, yaitu dua pasang suami istri yang cocok satu sama lain.

Tahap dewasa (40-65 tahun). Pada tahap ini kita cenderung sibuk dengan kepentingan sendiri karena kita berada pada puncak karier. Kita tidak mendapat banyak teman baru, kecuali tetangga atau teman organisasi.

Tahap usia lanjut. Pada usia ini biasanya jumlah teman berkurang. Namun, mutu persahabatan menjadi lebih matang dan murni. Dengan teman segolongan usia, kita bisa saling ikut merasakan dan saling menopang suka duka. Sedangkan dengan teman yang lebih muda, kita bisa menjadi sumber bijak dalam menghadapi persoalan sehari-hari karena kita telah mengalami semua itu.

Penelitian ilmu psikoneuroimunologi menunjukkan bahwa senyuman, sentuhan, pelukan, dan ciuman persahabatan meningkatkan kekebalan kita dalam menangkal rupa-rupa penyakit psikis dan fisik. “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Ams. 17:17).

Sungguh mengagumkan bahwa Tuhan Yesus menganggap kita sebagai sahabat. Ujar-Nya “Kamu adalah sahabat- Ku..” (Yoh.15:14). Tuhan menyamakan diri dengan kita, Ia menghargai kita, dan Ia mau berteman dengan kita.

Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2009

0 comments:

Post a Comment