Monday, September 12, 2011

Tahun

By: Yonky Karman Ph.D

Tahun dapat menghebohkan? Itulah 2012. Kiamat dunia yang biasanya dijumpai dalam teks-teks apokaliptik kini difilmkan dan dikaitkan secara ilmiah dengan kehancuran bumi. Persoalan sebenarnya bukan apakah akan terjadi sesuatu pada tahun 2012, tetapi apakah kita atau anak cucu kita siap menuai bencana karena perilaku sehari-hari kita sekarang.

Sebenarnya aktivitas kitalah yang menyebabkan kita semua berada dalam bayang-bayang malapetaka global. Alan Weisman berangan-angan seandainya bumi dapat memulihkan sendiri kerusakannya (The World Without Us, 2007). Setiap pasangan nikah dengan sukarela hanya punya satu anak untuk menstabilkan populasi manusia pada akhir abad ini, yakni pada angka 1,6 miliar, kurang lebih menyamai populasi penduduk dunia pada tahun 1900. Jika itu terjadi, diperkirakan akan lebih banyak bagian Bumi menjadi daerah tak bertuan dan selamat dari kehancuran.

Menurut Intergovernmental Panel on Cimate Change (2007), selama tahun 1990-2005 terjadi peningkatan suhu di seluruh Bumi, rata-rata 0,15-0,3ºC. Jika peningkatan suhu berlanjut, diperkirakan tahun 2040, lapisan es di kutub-kutub Bumi akan habis meleleh. Udara akan sangat panas. Napas terganggu asap dan debu. Luapan air laut makin luas. Pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar. Kelaparan meluas di seluruh dunia. Jutaan orang berebut air dan makanan.

Di Indonesia, sepanjang tahun 1980-2002 suhu Kota Medan (Sumatera Utara) meningkat minimum 0,17ºC per tahun. Denpasar mengalami peningkatan suhu hingga 0,87ºC per tahun. Salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, Gunung Jayawijaya di Papua, mungkin nanti tidak ada lagi. Menurut hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, ITB (2007), permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, diperkirakan pada 2050 banyak daerah di Jakarta dan Bekasi akan terendam, seperti Kosambi, Penjaringan, Cilincing, Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus waspada dengan garis kedaulatan wilayah negara yang dapat menyusut. Es yang meleleh di kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut meningkat. Pulau-pulau kecil terluar Indonesia dapat lenyap dari peta Bumi. Diperkirakan dalam 30 tahun mendatang sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam. Dampak sosial-ekonomisnya, jutaan orang di pesisir pulau kecil kehilangan tempat tinggal. Hancurnya aset usaha wisata pantai. Lenyapnya harta benda dan nyawa manusia. Sekarang saja sudah terasa salah satu efek pemanasan global. Hujan deras masih sering datang, meski sudah di bulan yang seharusnya musim kemarau. Pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser dan sekarang sudah berselisih nyaris sebulan dari normal.

Namun, tidak semua bencana karena efek pemanasan global. Banjir besar di negeri kita juga karena kerusakan hutan. Indonesia menjadi negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri). Jika kita tidak menyelamatkan hutan mulai sekarang, mungkin 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan di Kalimantan, 15 tahun lagi hutan di seluruh Indonesia. Anak cucu kita tidak lagi dapat menghirup udara bersih.

Jika kita tetap boros energi, Bumi dapat sepanas Planet Mars dan tiada makhluk yang dapat hidup. Jika kita mengabaikan tanggung jawab ekologis dan terus membiarkan perusakan lingkungan, kita seperti sedang membunuh diri (ekosida). Mari kita melakukan langkah-langkah kecil mendinginkan Bumi dan membersihkan udara. Hemat memakai listrik. Memakai lampu hemat energi. Menanam pohon di lingkungan sendiri. Jika mungkin, memakai kendaraan umum. Tidak menghidupkan mesin mobil saat menunggu lama. Hemat memakai kertas lantaran bahan bakunya dari pohon di hutan. Meminimalkan pemakaian bahan plastik lantaran tidak ramah lingkungan. Mari merayakan Tahun Lingkungan.

*) Penulis adalah Rohaniwan & Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Sumber: Majalah bahana, Januari 2010

0 comments:

Post a Comment