Saturday, September 10, 2011

Pedang dan Kunci - Negara dan Gereja

By: Pdt. Dr. Matheus Mangentang


Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.

Begitu terusir dari kampus di Kampung Pulo, Jakarta Timur, mahasiswa STT Setia hidup dalam pengungsian di tiga lokasi. Mereka berdiam dan melangsungkan aktivitas perkuliahan di tempat yang jauh dari kenyamanan. Hidup dalam situasi yang memprihatinkan.

Tidur berselimut awan. Berteman nyamuk. Dan harus menerima konsekuensinya: sakit. Apalagi pada musim hujan. Sejumlah penyakit begitu akrab dengan para mahasiswa ini.

Terusirnya dari kampus, rumah sendiri, sangat sulit dimengerti. Karena dari lokasi yang tidak begitu jauh dari Istana Merdeka sebagai pusat pemerintahan, terjadi peristiwa yang memilukan. Anak bangsa yang tengah menuntut ilmu harus terusir oleh sentimen sekelompok orang dengan mengandalkan kekerasan.

Negara, dalam hal ini pemerintah seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Namun apa mau dikata, keamanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat tanpa pandang bulu, raib tidak berbekas.

Dari sini muncul pertanyaan bagaimana hubungan negara dengan gereja yang dalam hal ini diwakili STT Setia.

Pedang dan Kunci
Dalam sejarah gereja, terdapat tiga pandangan. Pandangan pertama menegaskan pemisahan negara dan gereja. Pandangan kedua, menyatukan negara dan gereja. Sedangkan pandangan ketiga, memberikan batasan negara dengan gereja.

Bagi aliran Protestan dan Injili sudah jelas ada pemisahan antara negara dan gereja. Sikap ini mengacu dari Matius 24:21. Lalu kata Yesus kepada mereka: Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.

Pemisahan kekuasaan gereja dan negara merupakan hal yang mendasar. Tetapi tidak berhenti di situ. Harus dibarengi penekanan peran agama bagi masyarakat. Gereja—mewakili agama, merupakan perwakilan umat yang membawa doa syafaat kepada Tuhan dan berkat kepada umat. Tujuan gereja adalah menjadi terang dan garam dunia. Membawa manusia kembali ke Sang Pencipta.

Dan terbukti peran gereja tak tergantikan dalam pembentukan suara hati nurani. Meski dalam satu waktu, berada di bawah tekanan penguasa.

Alkitab menjabarkan negara dan gereja sebagai dua institusi terpisah dengan fungsi dan yuridisnya masing-masing. Pemisahan ini digambarkan dengan negara sebagai pedang (Rm. 13:4) dan gereja sebagai kunci (Mat. 16:19).

Sesuai dengan peran dan fungsinya, gereja berhadapan dengan dosa. Gereja memegang otoritas untuk menutup pintu Kerajaan Allah bagi orang-orang yang tidak mau bertobat dan membuka jalan keselamatan bagi orang-orang berdosa yang mau bertobat.

Pedang yang disandang negara bukan untuk memaksa hati nurani, melainkan untuk menghukum kelakuan yang digolongkan sebagai kejahatan.

Pendiri negara telah membedakan posisi negara dan agama (gereja). Suatu posisi yang begitu ideal. Meski harus melewati perdebatan yang sengit, kesepakatan ini berjalan hingga kini. Meski beberapa anasir mencoba menggesernya.

Dalam konteks demikian, kita sudah dapat memahami bagaimana seharusnya negara bertindak dalam kasus STT Setia.

Akan Berakhir
Berada dalam pengungsian merupakan hal yang tidak nyaman. Tetapi kita harus memaknainya dengan positif. Kondisi ini tidak boleh memadamkan perjuangan. Karena menyangkut kebenaran dan keadilan. Kedua hal ini menyangkut kepentingan orang banyak. Bukan hanya STT Setia. Dalam Kristus tidak ada kata berhenti untuk berjuang.

Saya melihat bahwa dalam segala hal pemeliharaan Tuhan hadir. Sekalipun berada di tiga lokasi berbeda, mahasiswa tidak kehilangan semangat belajar. Bahkan rohani mereka meningkat.

Meski demikian, kami tetap mengharapkan gerakan Tuhan melalui pihak lain termasuk dari gereja, sinode, PGI atau pemerintah daerah.

Kami berkeyakinan dalam waktu yang tidak begitu lama akan berakhir. Saya yakin bahwa apa yang akan kami peroleh akan lebih baik dari apa yang kami tinggalkan.

Sumber: Majalah Bahana, November 2009

0 comments:

Post a Comment