Thursday, September 8, 2011

Waktu Bumi

By: Benni E.Matindas

Waktu adalah kekal. Waktu sudah ada jauh sebelum, sampai jauh sesudah, adanya bumi dan segenap semesta ini. Tapi kita pun mengenal dan menghitung waktu berdasar jarak tempuh dalam ruang alam semesta. Misalnya, yang paling dikenal awam, hitungan tahun dan bulan yang tak lain adalah jarak tempuh bumi mengitari matahari dan rembulan melintasi orbit bumi. Begitu juga hari dan jam adalah jarak tempuh muka bulatan bumi ini mengelilingi porosnya.

Mungkin karena mengira waktu ditentukan cuma oleh manusia dan bumi lantas manusia sering main-main dengan waktu. Pun walau kehancuran bumi dan seluruh alam lingkungan kian mendekat, kita tak peduli dengan berlalunya waktu. Dalam rangka ikut menebar keinsafan tentang bahaya global warming dan climate change, sekitar konferensi ekologi di Bali 2007, saya menulis di internet dengan tajuk Ekologi Underdosage: Untuk edisi revisi bukunya ihwal sejarah pemikiran ekonomi, 1972 (35 tahun lalu), Heilbroner memasukkan ekologi sebagai masalah gawat yang sudah harus jadi hitungan. Profesor filsafat ekonomi ini mengangkat sebuah anekdot satire: Suatu hari, dari gedung tinggi kantornya, seorang industrialis memandang dengan wajah tegang ke satu titik di bawah sana. Dia berusaha membaca lebih cermat sebuah poster yang diacungkan seorang demonstran pro-lingkungan hidup, yang memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang sedang dinikmati manusia ada batasnya, tak akan bisa lebih dari 35 tahun lagi. Setelah membaca lebih jelas, si industrialis pun lega, “Waduh! Saya sampai kaget, tadi saya kira tulisannya ‘3-5 tahun lagi’….”

Tahun 1972 itupun Kelompok Roma yang mempublikasi Batas-batas Pertumbuhan. Laporan ihwal pembinasaan ekosistem. Kemudian, hingga kini, sudah sangat banyak publikasi ekologi yang jauh lebih ganas mengancam dan sekaligus lebih menggugah perasaan. Tapi ternyata, seiring berlalunya waktu, hingga sekarang manusia tetap menguras dan merusak alam seakan daya dukung alam atas kehidupan ini tiada batas.

Hampir 30 tahun lalu dialog dari paduan antar-kutub, Krishnamurti dan David Bohm — tokoh spiritualisme paling rasional dan pakar fisika modern yang khatam dengan dimensi immaterial — merumuskan simpulan mereka dalam buku The Ending of Time: kita sudah berada di akhir waktu, butuh revolusi moral yang luar biasa untuk mampu membelokkan arah peradaban yang sedang melaju ke kebinasaan alam kehidupan. Di tahun-tahun yang sama, paduan antar-kutub lain, Daisaku Ikeda dan Aurelio Peccei — arifin terkemuka Buddhisme Zen yang tekun menilik peradaban modern dan profesor ekonomi pendiri serta pemimpin Kelompok Roma — menyimpulkan dalam buku Sebelum Segalanya Terlambat: idem! Metafora yang mereka ajukan bahkan lebih mengerikan: alam dan kehidupan ini laksana truk bermuatan berat yang sedang meluncur di jalan yang menurun terjal yang ujungnya jurang kebinasaan!

Waktu sudah cukup lama mengajarkan kita, bahwa selama ini kita tetap mengisi perjalanan waktu dengan pembinasaan alam tak lain lantaran gagal menyusun sistem negara yang sebenar-benarnya bisa dijadikan wahana memenuhi semua kebutuhan masyarakat manusia termasuk generasi-generasi mendatang. Negara seharusnya, pertama, melembagakan kesadaran ekologis secara memadai dan benar dalam konstitusi. Agar budaya politik dan sistem hukum membuat ekologi jadi tolok ukur gagal atau berhasilnya setiap pemegang mandat rakyat. Kedua, dewan rakyat harus sungguh merupakan pemegang daulat tertinggi agar tetap sanggup menjalankan fungsi pengawasan negara, termasuk mengawasi penegakan hukum. Parlemen tak boleh diturunkan kualitasnya melalui sistem pemilu yang tak memungkinkan tampilnya tokoh terbaik dan paling bertanggung jawab. Tak boleh diturunkan status tertingginya melalui konsep salah kaprah trias politika. Ketiga, sistem hukum internasional harus berdaya.

Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2009

0 comments:

Post a Comment