Tuesday, September 6, 2011

Udang di Balik Batu

By: Andar Ismail, M.Th, Ph.D.

“Tidak ada musuh abadi, demikian juga tidak ada kawan abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi,” demikian kata Lord Palmerstone, seorang negarawan Inggris.

Ucapan itu tampak kebenarannya dalam persahabatan semu. Ambillah contoh ini. Iwan mempunyai video kaset di rumahnya. Kawan-kawannya sering datang dan menonton alat hiburan itu. Mereka semua menunjukkan sikap bersahabat dengan Iwan. Apakah mereka betul-betul bersahabat dengan dia? Belum tentu. Beberapa bulan kemudian, ketika video kaset sudah tidak ada lagi, seorang demi seorang dari kawan-kawan itu mengundurkan diri. Sekarang kelihatanlah udang yang ada di balik batu: mereka bukan senang kepada Iwan, tetapi kepada video kasetnya.

Tidak jarang terjadi persahabatan atau cinta yang semu seperti itu. Kita merasa mencintai dia. Tetapi sebenarnya bukan dia yang kita cintai, melainkan benda yang dimilikinya. Benda itu mungkin hartanya atau mungkin juga tubuhnya yang seksi, kedudukannya atau tenaganya yang dapat dieksploitasi. Di sini benda dan manusia dipertukarkan. Seharusnya kita menggunakan benda dan mencintai kawan. Tetapi sering kali yang terjadi adalah sebaliknya: kita mencintai benda dan menggunakan kawan. Dari situ bahasa Indonesia mempunyai ungkapan “memperalat orang”.

Bukan mustahil kepada Tuhan pun kita bersikap begitu. Kita berbaik kepada Tuhan karena kita mempunyai kepentingan tertentu. Mungkin ada “udang” di balik kesalehan kita. Kita ingin Tuhan mengabulkan kehendak kita.

Terkabulnya doa kadang-kadang dijadikan daya tarik dalam pemberitaan Injil, misalnya dengan menjanjikan bahwa doa pasti dikabulkan Tuhan, asal kita memenuhi syarat-syarat tertentu di depan Allah.

Pemberitaan seperti itu mempersempit arti Injil.
Pertama, karena pemberitaan seperti itu hanya menjadikan kita mempunyai optimisme yang palsu. Pemberitaan Injil seperti itu adalah seperti iklan barang yang tidak sesuai dengan kenyataan di baliknya. Sebab Tuhan adalah Tuhan yang bebas, karena itu Ia tidak terikat untuk mengabulkan doa manusia. Doa Yesus sendiri pun tidak terkabul, yaitu ketika di Getsemani Ia meminta agar “cawan ini berlalu”.

Kedua, karena pemberitaan seperti itu hanya menjadikan kita bersikap egois. Kita menyeru-nyeru nama Tuhan berulang-ulang. Tetapi yang sebenarnya sedang kita pikirkan hanyalah satu: aku. Yaitu, bagaimana supaya keinginanku terpenuhi.

Tanpa sadar, kita memperlakukan doa sebagai sarana untuk menjadikan Tuhan menuruti kehendak kita. Padahal, dengan doa seharusnya kita belajar menjadikan kehendak kita menuruti kehendak Tuhan. Tuhan Yesus menunjukkan sikap itu ketika dalam doa-Nya Ia berkata, “... bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang terjadi” (Luk. 22:42).

Persahabatan Tuhan Yesus adalah kebalikan dari persahabatan semu seperti tadi. Ia memperlakukan kita betul-betul sebagai sahabat. Antara kita dengan Tuhan dibuka hubungan persahabatan. Dan persahabatan yang tulus adalah hubungan yang tetap terjalin walaupun kita tahu bahwa kita tidak memperoleh apa-apa bahkan sebaliknya, kitalah yang perlu mengulurkan tangan kepada orang lain. Pepatah Cina mengatakan: “Sumur yang baik baru terbukti pada waktu musim kemarau, sahabat yang baik baru terbukti pada waktu keadaan sulit dan kacau.” Persahabatan Yesus begitu murni; dan sebagai sahabat yang baik Ia mau memberikan nyawa-Nya untuk sahabat-Nya. Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).

Sumber: Majalah Bahana, November 2008

0 comments:

Post a Comment