Friday, September 9, 2011

TOPENG KEHIDUPAN - (Kemunafikan VS Kemurnian)

By: Jakoep Ezra, MBA, CBA

Sebuah buku yang baik tidaklah ditentukan oleh baik buruk cover-nya, tapi oleh kualitas content-nya.

“Wah, lega rasanya selesai menghadapi orang penting tersebut,” sergah seorang manajer kepada semua rekannya.
“Apa sulitnya menghadapi dia?“ tanya rekannya.
“Aku harus berpura-pura pro dia agar tender kita bisa menang!“ jawabnya.

Pernyataan seperti itu, seringkali kita dengar dan sudah menjadi hal yang biasa. Berpura-pura, memakai topeng untuk menghadapi orang-orang tertentu agar tercapai tujuannya. Beragam pendapat bermunculan. Ada yang menyatakan itu bagian dari diplomasi dan persuasi. Ada yang berpendapat itu suatu negosiasi yang wajar, ada pula yang berkata itu kemunafikan. Bagaimana dengan kita sendiri?

Saya pernah dihadapkan dengan situasi di atas. Dan saya juga bersikap mirip dengan orang di atas. Saya mencoba menjaga etika komunikasi agar suasana tetap menyenangkan, dengan tujuan agar presentasi kami diterima. Pernah, seorang tim saya nyeletuk bertanya pada saya, “Bapak berkomunikasi dengan enak sekali di meeting tadi!“

Bagi saya sendiri, ada batas-batas antara komunikasi persuasif atau diplomatis dengan sebuah kemunafikan. Memang sangat tipis batasannya. Tapi saya tahu pasti kapan saya munafik dan kapan saya diplomatis. ‘‘Motivasi di hati saya!‘‘ jawab saya, ketika ditanya apa batasan kemunafikan dan kemurnian.

Kemunafikan yang disengaja
Hati kita adalah alat uji yang paling akurat, untuk menguji kemurnian atau kemunafikan kita. Sebab hanya kita sendiri dan Tuhanlah yang paling tahu motivasi sesungguhnya pada perbuatan dan perkataan kita. Seorang anak kecil yang bertumbuh jadi remaja, bisa lihai berbohong dan mengejek teman-temannya. Sehingga dia dikeluarkan dari sekolahnya karena perkataan dan perbuatannya yang licik banyak merugikan teman–temannya. Sampai pada saat dikonseling dan dikeluarkan pula, anak ini tetap menunjukkan sikap yang tidak bersalah. Seolah dia tidak paham dengan akibat perbuatannya. Kesimpulan saya dengan kasus di atas, anak itu jelas menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih kebiasaan buruknya ketimbang berubah. Ya, suatu kesengajaan yang dikehendaki. Kita pun bisa terjebak dengan situasi di atas. Dimana hati kita menjadi batu, mengeras, membeku. Kita memilih untuk tidak berubah, itulah suatu kesengajaan.

Kemunafikan adalah suatu pilihan hati yang didasari motivasi yang tidak murni untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Mayoritas kemunafikan terjadi dengan unsur kesengajaan. Bahkan telah direncanakan, diskenario, dan dilatih. Sehingga tanpa sadar akhirnya kita terbiasa munafik, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Memakai Topeng Tiap Hari
Menurut survei motivationalliving.com, tidak kurang dari 86% kepribadian seseorang, cenderung memakai topeng-topeng kehidupan. Ada topeng tertawa, menangis, marah, empati, prihatin, dan seribu topeng ekspresi yang lain. Bahkan pernah ada buku psikologi dengan judul Seribu Wajah. Seorang psikopat yang sanggup memainkan peran memakai topeng banyak sekali. Tiap hari kita bisa memakai topeng kita, guna memenuhi tuntutan-tuntutan kehidupan di sekeliling kita. Berganti-ganti tiada henti. Tiap kali berubah situasi, topeng kita dicopot dan diganti pula. Sehingga akhirnya, kita sendiri pun menjadi ragu dan bingung menemukan jati diri kita sesungguhnya. Sampai pula dibutuhkan pertolongan psikiatri atau psikolog untuk menolong penemuan jati diri kita sesungguhnya.

Memakai Topeng dengan Bijak
Istilah memakai topeng atau masking sebenarnya tidaklah sepenuhnya salah. Karena sikap kita yang ditunjukkan sewaktu di depan orang lain, untuk meresponi sebuah situasi, suasana agar kondusif. Hal itu bisa disebut personality atau kepribadian. Yang menjadi masalah adalah motivasi apa yang mendorong hati kita sewaktu memakai topeng tersebut? Apakah kita ingin berbohong atau menutupi sesuatu? Dengan tujuan yang buruk atau baik, kitalah yang paling mengetahui. Tetapi jika seseorang telah mampu menjaga kemurnian hatinya, walau dia sengaja memakai topeng tertentu, maka tandanya adalah orang lain yang merasakan dan menilai kita, apakah kita munafik atau tulus hati. Seseorang dengan tetap menunjukkan keramahannya, walau dia dicaci maki, maka orang tersebut telah memakai topengnya dengan bijaksana. Sekali lagi motivasi hati kitalah yang menentukan sebuah kemunafikan dan kemurnian.

Menjadi Apa Adanya tanpa Kenaifan
Tulus seperti merpati, cerdik seperti ular. Mungkin itulah sikap yang perlu kita kembangkan. Bagi saya pribadi, menjadi diri saya sendiri adalah saat yang paling menyenangkan dan membahagiakan. Sesekali saya menggunakan topeng kehidupan saya, guna mendinginkan suasana, mengamankan situasi, membangun tim, meredakan emosi orang lain. Dan masih banyak manfaat lain, yang bisa kita berikan jikalau motivasi hati kita benar, guna membangun dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling kita. Ayo, kita menjadi bahagia dengan menanggalkan topeng kemunafikan, berganti dengan apa adanya disertai hikmat dan kemurnian hati. Selamat mencoba.


Sumber: Majalah Bahana, September 2009

0 comments:

Post a Comment