Friday, September 9, 2011

Teroris & Negara Dunia

By: Benni E.Matindas

Teror bom bunuh diri kembali membunuh sejumlah diri orang lain dan membunuh karakter bangsanya sendiri. Tapi diskusi nasional yang riuh di segala media massa selamanya melantur jauh dari penyelesaian. Antara pihak tentara dan polisi, misalnya, debat yang sampai membentuk polarisasi publik ternyata cuma mengenai apakah bom yang dipakai high explosive atau low explosive. Kalau topik seperti ini yang diangkat dan dipentingkan, bukankah itu hanya menuju pada, kalau pendapat TNI yang betul maka para teroris akan berbangga hati dan kian bersemangat buat aksi-aksi teror di hari besok, dan bila Polri yang betul maka semua calon teroris akan berusaha merakit bom yang berdaya ledak tinggi dan berdaya bunuh manusia sebesarnya?! Diskusi nasional yang sama melantur jauh pun berkisar pada macam-macam topik.

Tapi kondisi berkonsepsi seperti itu tak hanya di negeri awak. Amerika, yang dihitung sudah paling maju dan pintar, ternyata podo wae. Ketika pagi 11 September 2001 menara kembar Pusat Niaga Dunia di New York dihancur-leburkan teroris, dan bahkan teroris nyaris membom Pusat Kendali Hankam AS di Pentagon, dengan air mata Presiden Bush langsung mengomandokan Crusade alias Perang Salib. Sesaat setelah bangsa itu tersadar dari emosi dan paniknya, dan sadar kalau “perang salib” bukan saja tak akan menyelesaikan tapi pula salah dan dosa di mata Dia yang sudah berkorban di kayu salib, pemerintah AS pun mengubah rumusan tindakan yang harus ditempuh, jadi Infinite Justice. Penegakan hukum tanpa batas. Tanpa batas wilayah negara, dan tanpa kenal kedaluwarsa-perkara. Tapi, penegakan hukum berarti harus sebatas aksi polisional. Ini konyol. Karena baru beberapa gelintir saja dari kelompok teroris sudah begitu dahsyat akibat serbuannya, ribuan orang tewas hanya dalam sekian menit, lebih dahsyat dari umumnya perang militer. Polisi dan jaksa tentu tak cukup untuk menyatroni sarang teroris di lereng-lereng terjal Afghanistan. Teroris adalah paramiliter yang berdaya tak kurang dari tentara. Harus tentara yang menyerbu, maka rumusan aksi diubah lagi, jadi Enduring Freedom. Ini doktrin Paman Sam sudah lama, berjuang melestarikan kebebasan demi perdamaian umat manusia di negara manapun. Tapi sudah lama pula konsep ini banyak digugat. Siapa yang memberi hak tentara AS membawa perang di negeri orang yang akan berdampak maut bagi rakyat sipil?! Bahkan bila Taliban dituding melindungi teroris (Mula yang jadi presiden Taliban adalah mertua keempat Osama bin Laden). Dan pertanyaan terpenting, kalau tak ada yang datang menghukum teroris, akankah setiap negara berhak leluasa mengembangkan teror ke negara lain sembari berdalih bahwa teroris itu bukan tentara resminya?!

Bukan AS saja yang bingung. Tapi dunia. Tak kurang dari KTT PBB, yang Presiden SBY hadir, tahun 2005, selesai tanpa mampu menemukan rumusan yang selesai tentang hakikat terorisme. Pemburu teroris seperti AS begitu gampang dituding balik sebagai teroris.

Problem ini sudah tua sekali. Hukum perang, yang sudah dikoreksi selama berabad-abad, oleh para negarawan sejumlah filsuf, juga termasuk reformator gereja Martin Luther, tak kunjung selesai. Perang tetap sebagai budaya sesat, membunuh manusia sebanyaknya tapi sebaliknya tak boleh disentuh hukum karena bukan kriminal biasa. Seseorang yang hanya demi membela diri terpaksa bergelut sampai lawannya terlanjur mati, diganjar hukuman mati, karena 1 nyawa manusia. Tapi para penggerak perang, yang merenggut puluhan ribu nyawa dan membawa penderitaan panjang bagi jutaan orang, dielu-elukan sebagai pahlawan nasional sepanjang masa. Padahal perang begitu gampang meletus, sebab hanya jadi konsekuensi politik, sementara politik sering hanya permainan emosi dan ambisi yang selalu melaju tanpa kendali.

Teroris, terlebih pelaku bom bunuh diri, jelas adalah pejuang politik yang menilai jalur demokrasi maupun perlawanan frontal tak mampu mereka menangkan. Jadi bereskanlah sistem politik, sampai seadilnya. Sistem negaralah yang belum benar sehingga segala konsep ihwal terorisme buntu. Sistem negara-negara di dunia, dan sistem negara dunia.


Sumber: Majalah Bahana, September 2009

0 comments:

Post a Comment