Tuesday, September 6, 2011

TERIMA KASIH

By: Xavier Quentin Pranata

Ketika liburan anak-anak sekolah, saya mengajak keluarga saya ke Jakarta. Kebetulan, saya diminta sebuah gereja untuk memberikan seminar public speaking. Setelah mengantar isteri saya Susan dan anak saya Yosa ke Kid Zania, pusat permainan anak-anak yang modern, saya bersama Yona, jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Saya ingin mencari effect gitar bagi anak saya itu.

Karena ingin buang air kecil, saya dan Yona masuk ke toilet gedung itu. Toiletnya bersih dan terawat. Saat hendak keluar, ada seorang petugas yang menyapa saya, “Terima kasih, Pak!” Saya dan Yona kaget. Baru kali ini kami disapa begitu oleh seorang penjaga toilet. “Kita kan tidak beli apa-apa, Pa?” tanya Yona keheranan. Namun, jujur saja, saya senang dengan sikap penjaga toilet itu. Tidak peduli apakah mereka memang dilatih untuk itu atau tidak. Namun yang jelas, mereka sangat profesional.

Hal yang bertolak belakang saya alami saat saya memimpin tur rohani ke Mesir-Israel-Yordan. Saat mendaki Gunung Sinai, di tengah jalan, isteri saya ingin buang air besar. Saya segera mengantarnya ke ‘toilet’ satu-satunya di tempat itu. Toilet itu hanya terdiri dari satu bilik dari kayu yang dibuat seadanya dengan lubang di sana-sini dan tidak ada air di dalamnya. Kotoran manusia menumpuk begitu saja. Meskipun sangat jorok, tetapi tarifnya mencekik leher. Yang luar biasa, sebelum kami sempat buang hajat, seorang bocah sudah mendekati saya dan berkata, “One dollar!” Ya, ampun, inilah ongkos kencing termahal yang pernah saya alami. Dia menerima uang saya tanpa senyuman.

Semakin hari manusia semakin egois dan cenderung memandang segala sesuatu dengan ukuran untung-rugi. Pada suatu musim dingin, seorang dokter ditelepon pukul 2 dini hari. “Dok, apakah Dokter bisa datang ke rumah saya?” ujar suara di seberang sana. “Isteri saya sakit.” Dokter itu bangun. Setelah siap, dia hendak menyalakan mesin obilnya. Macet. Apa pun yang dia kerjakan, mesin mobilnya tetap tidak bisa hidup. Akhirnya, dokter itu menelepon orang itu kembali, “Pak, maaf, saya tidak bisa datang. Apakah Bapak bisa membawa isteri Bapak ke rumah saya?” Tiba-tiba saja dia mendapatkan jawaban yang kasar, “Apa Dokter tidak tahu, ini pukul berapa? Masa saya harus pergi ke rumah Dokter pukul 2 pagi seperti ini?”

Anda boleh tersenyum sinis atau tertawa ngakak. Namun, apa pun yang Anda lakukan, Anda sedang menertawakan diri sendiri. Bukankah kita cenderung egois dan mementingkan diri sendiri. Mau bukti? Pemberian apa pun yang gratis, meskipun belum tentu berguna bagi kita, selalu kita terima dengan tangan terbuka bukan? Yang menarik, karena tidak ada yang gratis di muka bumi ini, jika kita ditawari pemberian yang sebenarnya ratis, kita malah curiga dan bertanya, “Berapa arganya?”

Ketika naik esawat dari Tokyo menuju Singapura, saya didatangi seorang pramugari dan memberikan saya sebuah ungkusan. “Apa ini?” tanya saya. Dengan ramah, pramugari itu berkata, “Oh, ini kartu telepon untuk mengabari keluarga tentang keterlambatan Bapak dan voucher untuk penerbangan berikutnya. Maaf atas keterlambatan kami!” Rupanya, emberian itu erupakan kompensasi dari maskapai itu untuk menebus kesalahan mereka.

Di zaman orang sulit berterima kasih, ucapan terima kasih dari seorang yang bekerja sebagai cleaning service sungguh menyejukkan hati. Ternyata masih ada orang-orang yang bisa menghargai orang lain dan mensyukuri pekerjaannya. Kalau kita renungkan lebih dalam, bukankah kata ‘terima kasih’ itu terdiri dari dua kata? Pertama, kita menerima sesuatu, baik dari Tuhan maupun dari sesama. Kata kedua ‘kasih’ bisa bermakna ganda ‘memberi’ dan ‘cinta’. Jadi, jika kita menerima sesuatu dari Tuhan atau sesama, kita pun seharusnya balas memberi dengan kasih kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian the golden rule itu terjadi. Apa kaidah kencana yang berlaku secara universal? “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6:31). Lewat ‘Sentuhan Akhir’ ini juga perkenankan saya dengan tulus mengucapkan “Terima Kasih” karena Anda telah menyisihkan waktu untuk membaca kolom saya.

Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2008

0 comments:

Post a Comment