Thursday, September 8, 2011

S T I G M A T A

By: Dr. Xavier Quentin Pranata, MACE

“Yosa, coba Papa lihat telapak tanganmu,” ujar saya kepada Yosafat Pranata, anak bungsu saya. Dengan segera dan rasa ingin tahu yang besar dia menyodorkan tangan kanannya. “Coba lihat garis-garis di telapak tanganmu. Mirip punya Papa, kan?” kata saya sambil membuka telapak tangan kanan saya di hadapannya. Dia melihat ke telapak tangannya sendiri lalu ke telapak tangan saya dan berkata, “Iya, sama!” Setelah mengelus kepalanya dengan penuh kasih, saya katakan, “Karena Yosa anak Papa, jadi sama!”

Saya pun tanpa sadar mengamati tangan kanan saya. Ada tiga bekas luka di ketiga jari saya. Setiap luka kecil itu meninggalkan bekas di ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah saya. Masing-masing carut itu ada kisahnya sendiri-sendiri.

Luka di jari tengah, misalnya, terjadi ketika saya masih duduk di bangku SD. Saat itu anak-anak laki-laki suka mengadu jari tengahnya, termasuk saya. Caranya adalah dengan menekuk jari itu ke dalam dan mengadu jari persis di sendi tengahnya. Karena terlalu sering saya adu, maka daging di bagian itu menjadi menonjol. Orang Jawa bilang kapalen. Benjolan itu menjadi abadi di jari tengah saya.

Di ujung jari telunjuk saya juga ada bekas luka. Luka itu terjadi saat saya berada di dalam travel jurusan Surabaya-Blitar. Saat itu, saya ke Blitar untuk melayani Firman Tuhan di sebuah gereja di kampung halaman saya. Mobil yang saya tumpangi ini dilengkapi dengan gordyn untuk mencegah panas masuk. Nah, saat saya mengangkat tangan, jari saya menghantam besi gordyn yang tajam sehingga langsung terluka.

Yang paling dramatis adalah bekas luka di ibu jari tangan kanan saya, tepatnya di bagian kuku. Begini kisahnya. Saat itu, saya mengikuti camp hamba-hamba Tuhan se-Perth, ibu kota Australia Barat, di Yancep. Kami tinggal di bungalow yang dikelilingi oleh padang golf dan hutan.

Saat sore hari, saya mengajak anak saya Yonatan untuk berjalan-jalan di hutan di belakang bungalow kami, sedangkan isteri saya sedang mengobrol dengan Karen, istri pendeta yang mengundang saya. Saat kami menikmati pemandangan hutan yang indah sambil melihat kanguru yang berlarian di depan kami, tiba-tiba Yonatan berkata, “Pa, ada kanguru mati!”

Saya segera menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya. Alangkah terkejutnya saya ketika melihat pemandangan mengenaskan itu. Sebagian tubuh kanguru tersebut tampak telah dicabik-cabik. Isi perutnya terburai. Masih ada darah yang mengalir di luka yang menganga. “Dingo!” otak saya langsung menyerukan sebuah nama anjing liar Australia. Anjing ini memang ganas.

Segera saya tarik tangan anak saya dan setengah berlari kami kembali ke bungalow. Begitu masuk ke dalam, saya langsung menutup pintu geser itu dengan keras tanpa menyadari jempol tangan saya ada di antara daun pintu dan tiang pintu. Tiba-tiba saja saya merasakan sengatan yang menyakitkan di ibu jari saya. Begitu tangan saya tarik, di tempat kuku terjepit, warnanya berubah. Sampai sekarang bekas luka itu masih tampak. Kuku jari jempol saya kini lengkungannya bergelombang.

Apa makna setiap bekas luka di jari saya itu? Di setiap luka itu ada cerita suka dan duka. Di balik luka itu ada tanda tangan Tuhan yang ikut menyaksikan peristiwa itu. Namun, bagi saya pribadi, luka itu tidak ada artinya dibandingkan stigmata yang ada di tubuh Yesus. Bekas luka di dahi, di tangan, di lambung, di kaki dan di sekujur tubuh Yesus punya arti yang sangat dalam. Jika kita baca, stigmata itu berbunyi: “I love you!”

Sumber: Majalah Bahana, Juni 2009

0 comments:

Post a Comment