Friday, September 9, 2011

Prahara di Praha

By: Benni E.Matindas

Para motivator, para pengajar pandangan hidup serta pola hidup menuju sukses, punya rasa percaya diri kelewatan. Bukan saja karena mereka mesti berusaha membangkitkan rasa percaya diri orang sebanyaknya, tapi karena mereka memang sangat percaya bahwa ilmunya adalah kunci segala masalah. Stephen Covey menemui Presiden RI, agar SBY percaya resep 8 habits dapat mengubah bangsa besar Indonesia dari susah jadi sukses. Sama dengan maksud John Maxwell menemui SBY. Padahal teori mereka berdua tak sama, bahkan isi teori masing-masingnya penuh pertentangan. Begitu juga ketika David MacClelland sang penebar n’ach, Edward de Bono penebar lateral thinking dan Norman Vincent Peale penebar positive thinking mengajar masyarakat di pelbagai negara. Begitu juga mereka yang mengaku motivator “Kristiani”, yang pengajarannya bertebar ayat-ayat kitab suci.

Setiap warga memang butuh penebar rasa percaya diri seperti mereka. Tetapi penyelenggara negara butuh lebih dari itu. Memajukan suatu bangsa tak cukup dengan memajukan aptitude maupun attitude seluruh individu, terlebih di tengah ketersediaan sumber alam yang kian menipis dan di tengah konkurensi antar bangsa yang langsung beradu dalam ruang yang mengecil. Maka ketika seorang motivator negeri ini bernama Mario Teguh mengatakan para “pribadi yang super” tak perlu cemas dengan harga BBM yang naik dan krisis ekonomi dunia, sebab semua itu “hanya soal statistik”, saya langsung teringat polemik ramai pada akhir dasawarsa 1990-an.

Polemik itu melibatkan Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono dan Arief Budiman (Soe Hok Jian) — 3 pemikir soal pembangunan ekonomi yang kebetulan keturunan Cina dan masing-masingnya tipikal mewakili alirannya. Arief adalah sosiolog yang paling memihak sosialisme atau aliran kiri. Kwik saat itu dikenal sebagai ekonom paling konsekuen kanan, membenci segala monopoli dan korupsi yang merupakan gejala bawaan dari campur tangan negara dalam ekonomi. Sedang Christianto adalah wartawan yang serta-merta sohor sebagai cendekiawan berkat buku kecilnya (Wawancara Imajiner dengan Bung Karno) yang mengedepankan sistem ekonomi jalan tengah. Dalam polemik itu, Arif tegas menjelaskan betapa naifnya bila mengira ekonomi warga dapat dibangun dalam sistem kapitalisme. Arief menghajar dengan pukulan berat, bahkan sempat mempermalukan Christianto sebagai kurang bacaan.

Sejauh apapun seorang individu mampu meng-improved rasa percaya diri dan meng-increased daya diri, tetap hanya segelintir penjilat yang akan bisa menembus lapisan puncak elit. Bahkan dalam masyarakat yang kadar demokratis serta nilai keadilan sudah dijunjung tinggi seperti AS, menurut penelitian C. Wright Mills (sosiolog yang gemar dirujuk Arief Budiman), struktur sosial, politik dan budaya amat kokoh menghalang warga di bawah untuk naik. Belum lagi, sebagaimana dijelaskan teori marxisme, individu yang sudah sukses pun begitu rentan dilibas tanpa ampun dalam gelombang verelandung (pemiskinan yang terus melebar dan mendalam) sekaligus hukum besi akumulasi kapital (yang kaya makin kaya dan harus makin sedikit individunya).

Negara harus menyelenggarakan sosialisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk pendidikan yang mengutamakan pengembangan daya cipta. Seiring dengan sistem demokrasi sejati, keadilan yang sungguh di tiap bidang. Mirip dengan apa yang dalam literatur ideologi politik ekonomi disebut “musim semi di Praha”. Jika tidak, inilah yang akan, sudah, dan makin terjadi: lulusan perguruan setingginya makin banyak, motivator dan segala resep suksesnya makin banyak, tapi penganggur makin membludak. Sudah begitu, masih ditambah keruh oleh mantra atau ayat suci dari motivator bernama Robert Koyasaki — “Berhentilah bekerja untuk uang, tapi biarkan uang bekerja untuk Anda” — yang menumbuhkan bubble economy: kalau dulu setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional menyerap 250 sampai 500 ribu tenaga kerja, sekarang cuma 40 ribu. Semakin banyak orang hebat dan super memperebutkan kue yang makin sedikit. Prahara di Praha, dan musim semi tak kunjung datang lagi…

Sumber: Majalah Bahana, Oktober 2009

0 comments:

Post a Comment