Tuesday, September 6, 2011

Pendeta adalah juga Penatua

By: Andar Ismail, M.Th, Ph.D.

Acap kita baca kalimat “... oleh pendeta dan penatua.” Sebenarnya itu kurang tepat, sebab seorang pendeta adalah penatua. Kitab Perjanjian Baru tidak mengenal istilah pendeta, namun penatua disebut 67 kali dalam berbagai arti dan konteks. Jabatan penatua atau presbiter (Yun. Presbuteros, harfiah yang dituakan, yang berpikir matang, sesepuh) diambil alih dari tradisi agama Yahudi dan mulai dipakai di gereja mungkin sekitar satu dasawarsa setelah kelahiran gereja pertama. Laporan pertama tentang adanya presbiter terdapat di Kis. 11:30 (laporan tentang tahun 40) dan Kis. 15:1-14 (laporan tentang tahun 50).

Di sini belum disebut tentang pembedaan tugas di antara presbiter. Kemudian terjadi perkembangan. Dalam surat terbitan tahun 140, yakni 1 dan 2 Timotius serta Titus, mulai disebut tentang diferensiasi jabatan presbiter. Di situ tertulis, “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1 Tim. 5:17).

Dalam teks aslinya lebih tampak adanya dua macam penatua, yaitu “proetootes presbuteroi (harfiah: penatua-penatua pengatur) dan logoo kai didaskalai presbuteroi (harfiah: penatua-penatua pengkhotbah dan pengajar). Jabatan penatua pengatur disebut lagi dalam Tit. 1:5-9 ketika dicatat prasyarat jabatan penatua. Dalam ayat 5 tertulis, “Sebab sebagai pengatur rumah Allah...” (Yun. oos theou oikonomon). Boleh dikata pekerjaan penatua pengajar (didaskalia presbuteroi) pada zaman itu sejajar dengan apa yang sekarang kita sebut pendeta. Empat belas abad kemudian, sebagai bagian dari upaya reformasi, Calvin menghidupkan kembali diferensiasi jabatan presbiter, yaitu di satu pihak presbiter pengajar (teaching elder, lerend ouderling) dan di lain pihak presbiter pengatur (ruling elder, heersend ouderling). Selanjutnya presbiter pengajar lambat laun berkembang menjadi pelayan Sabda atau prediker dan kemudian menjadi predikant atau pendeta. Dengan adanya aksentuasi dan diferensiasi jabatan presbiter oleh Calvin itu, maka gereja-gereja yang berdoktrin Calvinisme biasanya bersistem presbiterial.

Dalam gereja bersistem presbiterial pengambilan keputusan dan pimpinan bukan ada pada dua atau tiga orang tertentu, melainkan pada suatu presbiterium atau sidang para presbiter atau majelis para presbiter. Dalam 1 Tim. 4:14 dipakai istilah “sidang penatua” (Yun. tou presbutoriou, harfiah: rapat para presbiter atau majelis para presbiter). Majelis presbiter ini terdiri dari presbiter pengajar dan presbiter pengatur. Sesuai dengan prinsip presbiterial yang tidak mengenal hirarki, maka di antara para presbiter pengajar dan presbiter pengatur tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Buku The Duties of the Elders karangan Paul Wright mencatat, “With equal authority but with division of responsibility.” Berbeda dengan sistem klerikal di mana pendeta menjadi pembuat keputusan dan ketua, maka dalam gereja bersistem presbiterial pengambilan keputusan ada di tangan rapat para presbiter dan yang menjadi ketua bukanlah pendeta melainkan presbiter pengatur. Pendeta dibebaskan dari segala jabatan struktural supaya bisa berfokus pada mutu pengajaran. Pada awal abad ke-20 banyak gereja di Asia meskipun bersistem presbiterial namun masih dipimpin oleh pendeta, yaitu misionaris asing, sebab banyak penatua biasa masih buta huruf. Tetapi kemudian pimpinan diserahkan ke tangan para presbiter pengatur, baik ditingkat lokal, maupun tingkat klasis, sinode regional dan sinode nasional. Prinsip “equal authority, different responsibility” (sama otoritas, beda tugas) tampak dari ketentuan yang berbeda. Penatua pengatur boleh memunyai mata pencarian sekuler, sedangkan penatua pengajar bekerja penuh waktu untuk gereja sehingga “patut mendapat upahnya“ (1 Tim. 5:18).

Pada prinsipnya, baik jabatan penatua pengatur maupun penatua pengajar adalah sepanjang hidup. Kurun untuk penatua pengatur ditata dengan masa jabatan dan masa selang. Sedangkan kurun untuk penatua pengajar ditata dengan mutasi dan emeritasi, yaitu penghentian tugas tanpa pencabutan sebutan, sehingga sebutan pendeta masih boleh dipakai dengan dibubuhi kata Latin emeritus (harfiah: undur dari tugas namun tetap dihargai). Supaya tidak silau terhadap jabatan-jabatan gerejawi itu, sebaiknya kita membuat keseimbangan dengan membaca ketiga surat Yohanes.

Ketiga surat anonim ini bersikap skeptis terhadap jabatan struktural gereja dan lebih mengutamakan peran kharismatis kaum awam yaitu seluruh umat gereja. Agaknya ketiga surat ini ditulis oleh dua orang sesepuh berbeda, namun editornya sama. Penulis tanpa nama ini mengajak gereja bersikap kritis karena di antara pemangku jabatan yang merasa diri diurapi oleh Kristus itu bisa saja “telah bangkit banyak antikristus” (lih. kasus seorang presbiter di 3 Yoh. 1:9-10 dan acuan tidak langsungnya di 1 Yoh. 2:18-19).

Kedua penulis ini mengajak seluruh umat untuk bersikap kritis sebab meskipun umat tidak memunyai jabatan gerejawi namun seluruh umat memunyai otoritas dan tugas dari Kristus. Tulisnya,“Tetapi kamu telah beroleh pengurapan dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya“ (1 Yoh. 2:20). Pada hakikatnya, otoritas dan tugas bukan ada di tangan penatua pengajar atau penatua pengatur, melainkan di tangan anggota biasa.

Sumber: Majalah Bahana, September 2008

0 comments:

Post a Comment