Thursday, September 8, 2011

Orissa, Mangalore, Negara

By: Benni E.Matindas

Ratusan ribu warga Kristen di beberapa distrik Orissa, salah satu negara bagian India yang terletak di timur laut anak benua itu, 26 Agustus 2008, dibantai habis-habisan oleh kelompok mayoritas Hindu. Sejumlah orang dibakar hidup-hidup. Dalam neraka yang berlangsung sehari penuh itu, sampai 151 gereja hancur, hampir 5000 rumah luluh-lantak. Banyak wanita diperkosa, sesudah itu dicampakkan ke dalam api. Hingga hari ini, banyak yang masih trauma, takut pulang ke rumah dan kampung halamannya sendiri, mereka bersembunyi dalam hutan.

Ratusan ribu warga dalam komunitasnya bisa sampai tak berdaya dan mengalami penghancuran seperti itu, maka dapatlah dibayangkan betapa besarnya jumlah orang yang menyerbu dengan buas. Mirip air bah yang datang dengan gelombang-gelombang besar. Dan nyaris menjadi ‘gerakan nasional’, karena tak sampai sebulan kerusuhan misal pun pecah di ujung kutub seberang Orissa, yaitu Mangalore, kota di pesisir barat daya India. Daerah yang kendati sudah lebih seabad berkembang pelayanan gereja Katolik, Lutheran, dan lainnya. Itu tepat hari Minggu. Massa perusuh menyerbu dalam ruang ibadah. Jemaat yang tengah berbakti dihalau dengan kekerasan. Gereja-gereja dihancurkan. Dan ketika umat Kristen mengajukan protes, polisi malah memukuli mereka tanpa kecuali kaum wanita.

Yang terjadi di India itu adalah keniscayaan logis dari negara dengan sistem yang belum becus. Diskriminasi, intimidasi, sampai pembantaian, yang dialami kaum minoritas di masa lain atau negara lain belum sampai seperti Orissa dan Mangalore itu hanya sebab dihambat faktor-faktor tertentu. Seperti yang terjadi di saat yang hampir sama di Uzbekistan dimana kaum mayoritas Muslim mengusir warga Kristen keluar dari desa-desa mereka sendiri, atau yang baru tepat sebulan sebelum kerusuhan Orissa yakni ribuan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Arastamar di Pinang Ranti, Jakarta Timur, ditindas dan masih terlunta-lunta sampai hari ini. Atau seperti yang dialami umat Islam di Thailand Selatan dan di India. Atau bahkan umat Katolik di Amerika Serikat yang dulu ditindas di daerah yang padahal dibangun mereka sendiri, seperti Maryland (Tanah Bunda Maria), Virginia (Sang Perawan Suci), dan lain-lain.

Arah eskalasi setiap konflik mayoritas-minoritas adalah, sesungguhnya, seperti di India di abad ke-21 itu. Dan akan selamanya pecah lagi dengan arah yang seperti itu, selama setiap negara belum beres bahkan pada dasarnya. Setiap negara dan setiap politisi pemimpin bangsa tampil dengan aneka ideologi gagah yang diyakini serta diperjuangkan dengan taruhan nyawa.

Padahal Dasar Negara yang sebenarnya, sederhana saja, harus mengenai asas dan tujuan negara. Bukan ideologi besar gagah dengan daftar panjang cita-cita permai. Asas yang harus ditegakkan negara, yang bila tidak maka berarti gagallah penyelenggara negara, adalah: keadilan, persatuan dan kedaulatan rakyat. Keadilan tak boleh memiliki arti macam-macam, meski kedengaran gagah dan bajik seperti yang disebut “keadilan sosial” ataupun segala makna lain. Keadilan memang hanya untuk kehidupan sosial, yaitu pemenuhan hak dan kewajiban setiap warga (tanpa memandang latar agama, suku, atau apapun) secara sama rata. Kelompok etnis atau wilayah tertentu dari suatu negara berniat memisahkan diri dan menyatakan merdeka, itu tak pernah disebabkan lain kecuali adanya ketidakadilan yang nyaris permanent mereka rasakan. Asas persatuan untuk pembesaran daya demi mempercepat pencapaian kondisi damai dan sejahtera. Bukan nasionalisme yang cuma sekadar romantisme ataupun semangat rasialisme yang berbahaya. Tatanegara dan sistem kelembagaan kekuasaan negara harus sedemikian rupa sehingga tak memungkinkan asas kedaulatan rakyat disabotase oleh kekuasaan partai, elitisme, ataupun sisa-sisa feodalisme dalam pelbagai wujud. Tujuan negara pun tak boleh lain kecuali untuk manusia dan kemanusiaan hari ini hingga generasi-generasi mendatang, dan di dalamnya percepatan pengembangan daya cerdas kreatif warga harus menjadi inti.

Umat yang cerdas kreatif akan memenuhi hidupnya dengan amal yang produktif dalam damai. Dan sebelum masyarakat mencapai kondisi ideal cerdas kreatif, juga untuk mempercepat pencapaian itu, sistem hukum negara beserta segenap aparatusnya harus difungsikan untuk menjaga keadilan. Agar konflik, yang memang mudah terjadi itu, tak harus bereskalasi seperti di Orissa, agar umat dapat terbangun cerdas, bukannya melahirkan generasi dengan sistem kesadaran dan nalar yang dibelenggu dendam.

Apakah Pemilu 2009 ini akan membuahkan penyelenggaraan negara yang lebih becus? Atau?


Sumber: Bahana, April 2009

0 comments:

Post a Comment