Tuesday, September 6, 2011

Memperbaiki Kelakuan

By: Jakoep Ezra, MBA, CBA

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.

Malam kelam mencekam di Taman Getsemani. Nyala obor menyertai kegaduhan banyak orang yang mencari-cari Yesus. Tampaklah Yudas mencium Yesus, memberi tanda. Serentak orang banyak mengepung dan menangkap-Nya. Kisah ini berakhir tragis. Yudas mati menggantung diri. Ia menyesali kesalahannya, tapi responsnya keliru. Ia menghakimi dan menghukum dirinya sendiri.

Kisah lain terjadi pada Petrus, seorang murid yang selalu bersama dengan Yesus. Petrus berjanji untuk membela gurunya. Tapi apa daya, demi menyelamatkan diri ia tega bersumpah menyangkali Yesus. Kokok ayam mengingatkan Petrus. Dengan tubuh lunglai ia menangis pilu. Hancur semua yang dibanggakannya, ia menyadari kesalahan besar yang telah dibuatnya.

Kemudian hari setelah kebangkitan-Nya, di Danau Tiberias Yesus secara khusus berdialog dengan Petrus. Ia mengetahui penyesalan Petrus. Yesus memulihkan hati Petrus dan mengulangi kata-kata yang pernah diucapkan-Nya: ”Ikutlah Aku!” Yesus bahkan memercayakan jemaat-Nya kepada Petrus.

Respons yang benar selalu mampu mengubah kesalahan menjadi pembelajaran untuk meraih kemenangan. Bagaimana respons kita menghadapi kesalahan?

Respons untuk Memperbaiki Kesalahan
Kesalahan bisa terjadi karena kelalaian diri sendiri ataupun faktor luar. Namun, selalu tersedia banyak kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Banyak hal yang fatal terjadi bukan ketika kesalahan dilakukan, tapi justru karena respons kita yang keliru. Panik, takut, bingung, mencari kambing hitam atau berusaha membela diri dan menutup-nutupi kesalahan. Semua itu tidak menyelesaikan masalah bahkan membuat situasi menjadi lebih buruk lagi.

Sebaliknya, diperlukan titik balik untuk mengubah pandangan kita terhadap kesalahan. Kesalahan bukanlah akhir dari segalanya, tapi bisa menjadi pijakan untuk permulaan baru. Kuncinya adalah kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan dan kerendahan hati untuk memperbaikinya.

1.Menerima koreksi
Kita punya sepasang mata untuk melihat. Tapi semua tatapan orang tertuju pada diri kita, mereka melihat lebih baik. Artinya koreksi efektif berasal dari orang lain. Koreksi tidak selalu menyenangkan. Sering kali muka kita jadi merah saat dikoreksi. Seharusnya kita bersyukur karena ada orang yang mau peduli dan memberi masukan.

Tiap orang mungkin memiliki cara yang berbeda saat memberi koreksi atau input. Sebaiknya koreksi diterima dengan hati lapang. Namun kita juga perlu menyaring setiap koreksi apakah benar relevan dan bermanfaat.

2.Mengakui kesalahan
Tak seorang pun yang luput dari sikap khilaf dan alpa. Kita pasti pernah membuat kesalahan. Tapi tidak semua orang mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya. Menutupi kesalahan seperti menyimpan bara dalam sekam. Suatu ketika pasti terbakar.

Banyak mitos keliru tentang kesalahan. Ada yang menganggapnya sebagai aib, tabu jika ketahuan salah. Sebagian merasa takut jika dihukum atau dihakimi. Namun, jika diakui secara terbuka dan obyektif, kesalahan dapat menjadi pembelajaran dan proses pengembangan karakter yang efektif.

3.Menemukan titik kritis.
Banyak pemicu yang membuat sebuah kesalahan bisa terjadi. Titik dimana sering terjadi kesalahan disebut sebagai titik kritis. Titik orang bisa berasumsi, seakan-akan serupa padahal tak sama. Banyak keputusan keliru atau kesalahpahaman terjadi karena asumsi.

Titik kritis juga berarti kelemahan pribadi atau hal-hal yang perlu diwaspadai. Titik kritis tiap orang berbeda satu dengan yang lain. Ada yang pelupa, suka nekat, ragu-ragu, kuatir, apatis, mudah bosan, kurang inisiatif, perfeksionis, ceroboh dan lain-lain. Dengan menemukan titik kritis, kita bisa melakukan antisipasi untuk menghindari kesalahan.

4.Komitmen perbaikan.
Ada pepatah mengatakan, langkah terakhir menentukan. Tapi perbaikan perlu dilakukan sesegera mungkin, jangan tunggu saat terakhir baru mau berubah. Karena mungkin kesempatan sudah berlalu tanpa menunggu kita.

Langkah perbaikan membutuhkan komitmen, karena kita cenderung mengulang kesalahan yang sama. Jika kita bisa belajar dan memperbaiki kekurangan yang ada, maka kita memiliki pengalaman untuk tidak jatuh pada kegagalan yang sama.

5.Melakukan restitusi
Restitusi sering kurang lazim dilakukan. Namun, ada proses pemulihan yang membutuhkan penggantian kerugian baik moral juga material. Jika ada pihak-pihak yang telah dirugikan, maka kita perlu melakukan restitusi.

Tapi, restitusi bukan berarti segalanya telah impas. Restitusi tidak menghapus kesalahan yang telah dibuat. Tapi lebih merupakan penggantian kerugian sepatutnya sebagai konsekuensi atas sebuah kesalahan.

Sumber: Majalah Bahana, Juni 2008

0 comments:

Post a Comment