Tuesday, September 6, 2011

MELIHAT

By: Prof. Dr. Mudji Sutrisno, SJ

Ketika Anda memakai mata fisik atau indra penglihatan, Anda melihat dengan mata indra. Bila Anda naik kendaraan umum dengan laju kencang, mata indra Anda hanya melihat sepintas sepanjang jalur yang dilalui, rumah, pepohonan atau kerumunan.

Namun begitu jalan macet, dengan “terpaksa” atau dengan sadar Anda akan melihat lebih jelas. Apalagi bila jalan macet karena kecelakaan. Semua pengemudi menghentikan kendaraan dan melihat lebih cermat apa yang terjadi. Anda menjadi penonton saat ingin tahu apa yang terjadi dan mata indra Anda mulai sadar dan menghubungi “mata budi” untuk solilokui dengan diri sendiri, kecelakaan apa, adalah korban dan mengapa terjadi?

Kapan “mata budi” secara sadar mulai dipakai? Tentu, saat proses indra melihat punya waktu lebih lama dan ada dorongan keingin-tahuan. Pertanyaan menyelidik masuk ke akal budi hingga “mata budi” mengurai dengan logika nalarnya!

Ketika kecelakaan yang Anda lihat menyentak perhatian Anda karena ada darah mengucur dari korban yang terserempet mobil, dan ketika mobil yang Anda kemudikan diberhentikan untuk dimintai tolong membawa korban ke rumah sakit terdekat, dua mata Anda, indrawi dan mata budi dengan cepat mengetuk mengirim signal-signalnya ke hati Anda.

Di sinilah mata hati Anda diketuk bahkan disentak gugatan menolong atau tidak? Secepatnya itu pula mata hati akan membaca: “bila kutolong, saya bisa kerepotan dan terlambat ke kantor, apalagi jangan-jangan saya dituduh penyerempet si korban atau bahkan penabraknya? Mata hati akan terus mengetuk kencang-kencang ketika bacaan Anda diisi pembenaran-pembenaran diri, tidak mau repot, tidak mau menanggung resiko apalagi tidak mau peduli pada keadaan kritis, nyawa orang lain yang Anda baca hanya sebagai “yang lain” dan mata hati Anda tidak segera memutuskan karena ia sesama manusia.

Pada sebuah peristiwa yang berkait dengan nasib kemanusiaan proses melihat tidak akan hanya berhenti pada mata fisik (mata indra) tetapi terus ke mata budi dan mengetuk ke hati dalam melihat membaca dengan “mata hati”.

Kisah sejarah atau narasi peristiwa yang meriwayatkan bangunan fisik itulah yang membuat ia dibaca oleh mata hati!

Sebagai penghuni, hampir seperempat abad Jakarta, berkali-kali mata indra saya melihat Monumen Nasional tegak menyala keemasan dalam nyala api di malam hari. Berkali-kali pula saya naik ke atas lalu turun melihat Jakarta dari berjarak dan indah (karena tak kelihatan kekumuhan tersaputi terang benderang neon lampu) lalu turun melihat routine sehari-hari biasa- biasa, begitu-begitu saja!

Mata budiku membaca bahwa Bung Karno sebagai Insinyur ITB merancang monas sebagai monumen tegak perjuangan merdeka bangsa dengan nyala api emas tak kunjung padam. Tugu ini pula simbol kehidupan sang “lingga” kesuburan yang berdampingan dengan “Joni”, rahim atap rekah gedung MPR–DPR yang dalam tradisi perayaan kehidupan dalam kesuburan nusantara dirayakan karena daya-daya hidup penyuburnya.

Kapan mata hati melihat dan membaca dalam hening hati? Manakala kisah berlanjut pada pencarian Sang Saka untuk diduplikatkan menurut banyaknya provinsi R.I. guna dikibarkan dalam perayaan peringatan kemerdekaan.
Bung Karno, diam tak memberi tahu di mana sang saka disimpan karena saat itu beliau sudah “tahanan rumah” di zaman Soeharto.

Akhirnya dengan bujukan Guntur dan demi bangsa, Bung Karno memberi tahu di mana sang saka yang terajut jahitan tangan ibu Fatmawati itu disimpan. Alangkah berubahnya makna Sang Saka dari kualitas bersejarah menjadi kuantitas tiruan jumlah.

Kabar terakhir, “makna simbolik yang dibaca mata hati” sedang dalam proses untuk kembali ke asal sejarah yaitu perayaan proklamasi di lingkaran Monas. Hanya karena bencana yang bertubi-tubi menimpa Jakarta dan keadaan negara tercinta, rencana itu sudah diproklamasikan namun belum terwujud karena dana, dll.
Maka saya mengharap, seperti dalam pengalaman saya, bila Anda melewati Monas, tolong melihat Monas dengan mata indra, lalu mata budi namun semoga menangkap “roh”nya dengan mata hati!

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2008

0 comments:

Post a Comment