Tuesday, September 6, 2011

Kita bisa mengubah sesuatu yang dipandang remah

By: X avier Quentin Pranata

Vier, engkau lihat rumah di depan itu? Bagus kan? Pemilik rumah itu adalah seorang tukang sampah,” ujar Daniel, sahabat saya, sambil menunjukkan sebuah rumah persis di depan rumah yang saya tinggali selama di Australia.

Setelah diberitahu Daniel, saya jadi sering menoleh ke rumah itu saat mau kembali ke rumah atau saya keluar rumah. Seringkali saya berpapasan dengan pria bertubuh gempal naik turun truk sampah. Benar juga. Ternyata seorang tukang sampah di Australia bisa memiliki rumah milyaran rupiah. Sampah, yang seringkali dianggap kotor, ternyata bisa menghasilkan uang jutaan dolar. Mau mengetahui yang lebih spektakular?

Tukang sampah ini bernama H. Wayne Huizenga. Dia terpilih oleh Majalah Forbes sebagai salah satu Corporate America’s Most Powerful People. Dia punya bisnis jutaan dolar mulai pemilik tim-tim olahraga profesional sampai pengecer onderdil mobil terbesar di Amerika. Dia memulai usahanya hanya dengan satu truk sampah. Dia terjun ke wiraswasta karena percaya akan nasihat ayahnya bahwa dia tidak mungkin kaya jika hanya terus-menerus jadi karyawan.

Pada usia 25 tahun, dia mulai debutnya di bidang bisnis dengan melayani urusan sampah di wilayah selatan. Enam tahun kemudian, dia sudah punya 20 truk sampah. Bersama pamannya, dia mengembangkan lagi usahanya itu dengan menambah 90 truk dalam tempo 9 bulan. Perusahaannya, Waste Management, akhirnya menjadi perusahaan pembuangan sampah terbesar dengan penghasilan lebih dari satu milyar dolar. (Thaddeus Wawro, Radicals & Visionaries (Irvinee, California: Entrepereneur, 2000), 214).

Lihat! Sampah yang tampak tak terarti ternyata menghasilkan uang jutaan dolar bagi orang yang kreatif. Kota Spokane, yang jumlah penduduknya terbesar kedua di Washington setelah Seattle, punya pembangkit listrik yang dihasilkan dari pengolahan sampah masyarakat. Siapa menduga kota dengan pencakar langit yang megah dilatarbelakangi bukit yang biru menawan ini bisa menghasilkan listrik dengan bahan baku sampah? Pengelolaannya sangat kreatif! Orang yang setor sampah membayar, setelah jadi listrik mereka pun harus membayar tagihannya setiap bulan!

Kita bisa mengubah sesuatu yang dipandang remah, bahkan hina oleh orang lain dan menjadikannya sesuatu yang berharga. Seperti yang dilakukan juga oleh Ir. Ciputra. Ia berhasil mengembangkan daerah kumuh (sering dilecehkan sebagai tempat jin buang anak) menjadi kawasan bermain dan wisata bergengsi. Lihat saja Dufan dan Taman Impian Jaya Ancol! Siapa yang mau ke sana dulu? Kini, jutaan orang sudah berkunjung ke sana untuk having fun.

Bagaimana dengan kita? Apa yang bisa kita lakukan? Sudah banyak di antara kita, warga Indonesia tercinta, yang punya kreativitas yang sama. Isteri saya pernah membawakan oleh-oleh berbahan baku mendong (sejenis tanaman serat) kepada seorang temannya di Perth, Australia Barat. Orang itu senang sekali menerima kerajinan yang sulit didapat di sana. Perlengkapan rumah tangga berbahan baku enceng gondok pun menjadi idola orang-orang modern yang punya filosofi back to nature.

Seorang sahabat saya memproduksi berbagai vas dan wadah lainnya dengan bahan baku kertas bekas. Bonggol bambu pun kini menjadi bebek-bebek mungil di ruang rumah orang gedean. Apa perlu saya memperpanjang daftar ini? Yang diperlukan justru memperpendek jarak antara ide kreatif dan pelaksanaannya. Yang diperlukan adalah tindakan konkrit untuk bisa melihat yang mulia di antara yang hina.

Kemampuan seperti inilah yang membuat Rasul Paulus, begitu mengenal Yesus, mampu berkata: “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Filipi 3:8). Bulan ini milyaran orang merayakan Natal, tetapi seberapa banyak yang sungguh-sungguh menerima Yesus sebagai harta yang paling penting dalam hidupnya yang tanpa-Nya kita tidak bisa diselamatkan?

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2008

0 comments:

Post a Comment