Tuesday, September 6, 2011

Gandrung Kekuasaan

By: Benni E.Matindas

Kini kian banyak saja “pendeta” yang jadi politisi, jadi kontestan pemilu. Tapi anehnya, fenomena ini bukan dilatari, dan tidak menuju, pasang-naik perpolitikan yang sehat dari segenap jemaat Kristen. Kondisi yang ada masih tetap sakit, yang oleh Pdt. Dr. Eka Darmaputera dideskripsi secara tepat (dalam prakatanya untuk buku Saut Sirait tentang politik umat Kristen di Indonesia): “… dunia kekristenan menjadi kian apolitis, sementara dunia politik menjadi semakin akristiani. Dengan akibat yang fatal: yang satu menjadi kehilangan relevansinya, sementara yang lain kehilangan makna, arah dan tujuannya.”

Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa kian banyaknya pendeta jadi politisi dan kian gampangnya orang Kristen bikin parpol ternyata berbanding terbalik kesadaran politik sejati jemaat? Kian benarnya seseorang ber-Kristen maka makin apatis dia terhadap perjuangan politik bagi kepentingan Kristen. Itu tak lain lantaran menyaksikan betapa para politisi yang mengatasnamakan Kristen selama beberapa dekade belakangan ini tak berbuat signifikan atau kalau juga berbuat maka isinya salah terus.

Setiap kali menghadapi tuntutan kelompok tertentu dalam Islam yang memperjuangkan Syariah menjadi hukum nasional, para politisi cuma mengulang-ulang teori pemisahan agama dan politik/negara. Keliru menafsir ayat Mat.22:21 redde Caesari qoud Caesaris, redde Deo qoud Dei. Argumen yang langsung dihantam dengan telak oleh pihak yang memperjuangkan Syariat Islam: Kita meyakini bahwa agama kita adalah kebenaran maka kebenaran agama itu harus menerangi setiap aspek kehidupan tak kecuali kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Semua yang dimusuhi rival politik harus dibela walaupun salah dan bertentangan dengan Kristen, misalnya soal tari goyang Inul, UU Sisdiknas, RUU Anti-Pornografi, sekte Ahmadiyah, dan banyak lagi.

Semua yang ada kepentingan “mereka”, harus ditolak. Termasuk bagian-bagiannya yang benar. Menolak “iman dan takwa” dalam UU Sisdiknas. Menolak Fatwa MUI tentang Pluralisme — padahal Yesus sendiri mengamanatkan semua bangsa tanpa kecuali harus jadi murid-Nya dan dibaptis dalam nama-Nya. Penolakan pun tanpa argumen yang benar, ingat gugatan Pdt. Ruyandi Hutasoit (pucuk pimpinan Partai Damai Sejahtera) mengenai pengasuhan anak yang ditolak mentah-mentah oleh Mahkamah Konstitusi pimpinan Jimlly Assidiqih yang mantan pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Mengapa orang Kristen tak bisa berargumentasi cerdas dan benar padahal yakin bahwa Yesus adalah kebenaran? Bila kita tilik isi semua argumen yang selama ini dimunculkan, kentara betapa orientasi nalarnya adalah kekuasaan. Gandrung kekuasaan itupun cenderung menutupi jalan nalar. Itulah yang terjadi.

Lebih ke akar terdalam lagi, mengapa orientasi kekuasaan (power oriented) sampai menguasai jiwa dan menyumbat pencerdasan? Paling sedikit ada 2 sebab mendasar. Naluri primitif manusia yang belum mampu dibereskan oleh pribadi-pribadi tertentu. Dan budaya feodalisme. Keduanya adalah dosa. Orang sudah harus dinyatakan gagal membangun kekristenan dirinya bila hingga di usia dewasa belum mampu membereskan dua soal ini. Budaya feodalisme ditandai antara lain oleh fenomena berbondong-bondongnya para rohaniwan dan pengusaha menjadi politisi. Mereka yang dianggap sudah berprestasi spiritual dan material tapi merasa harus menyempurnakan diri dengan prestasi kekuasaan atau jabatan politis. Karena, mereka yakin, dengan kekuasaan maka kekayaan akan lebih gampang dan melimpah diraup.

Berpolitik, oleh siapapun, tanpa kecuali rohaniwan dan niagawan, adalah mulia. Menunaikan tanggung jawab sosial secara lebih efektif, ikut mewujudkan kehendak Allah di atas bumi seperti di Kerajaan Sorga-Nya (Doa Bapa Kami). Tetapi untuk bisa naik ke tampuk kekuasaan, kita harus lebih dulu membereskan diri hingga menjadi terang masyarakat. Mencerdaskan diri, mengandalkan hikmat kebijaksanaan. Orang niscaya akan meletakkan terang di atas kaki dian, bukannya lebih dulu berjuang naik atau bahkan merebut kaki dian itu. Responsibility to authority, mustahil sebaliknya!

Allah, dan Salomo, telah menggariskan ajaran: dahulukan kecerdasan, perkaya hikmat, maka kekuasaan, kekayaan dan kesehatan dipertambahkan kemudian (2 Tawarikh 1:1-13). Jangan sebaliknya mendahulukan pengejaran kekuasaan.

Sumber: Majalah Bahana, Juni 2009

0 comments:

Post a Comment