Tuesday, September 6, 2011

Cerdas Tapi Beriman

By: Benni E.Matindas

Terlalu lama sudah kebudayaan manusia berikhtiar menemukan cara bagaimana membentuk pribadi yang cerdas dan sekaligus beriman. Dua kutub yang begitu gampang disatukan dalam kata-kata, namun sangat sukar diwujudkan dalam satu pribadi bahkan oleh mereka yang paling gemar mengkhotbahkannya. Immanuel Kant, salah satu pemikir terbesar dunia yang menggeluti problem ini — dan menelorkan pemikiran tentang hakikat rasio dan etika dengan taraf kebenaran yang belum pernah dicapai siapa pun sebelumnya — ternyata masih buntu. Ahli filsafat dan matematika, penemu teori tata surya, yang terkenal halus pekerti, teduh dan penuh integritas ini tak bisa lagi ke gereja dengan tetap jujur. Bahkan saat segenap civitas akademika Universitas Konigsberg harus mengadakan ibadah, Prof. Kant menyelonong keluar dari barisan prosesi sebelum mencapai pintu gereja.

Pelbagai upaya sebelumnya (termasuk oleh sederet intelektual cemerlang di lingkungan gereja seperti Agustinus), juga segala teori yang muncul sesudahnya hingga hari ini (seperti segala teori pemaduan IQ-EQ-SQ), semuanya hanya sampai pada rumusan berupa kata-kata mutiara atau sekadar daftar sifat-sifat ideal. Bukan teori dengan konstruksi logis yang feasible untuk mencetak hasil sesuai yang dikehendaki. Tak pernah lebih dari yang dapat dicapai Albert Einstein, yang sampai sekarang paling gemar diucap orang, “Science without religion is blind, religion without science is lame.”

Tentang bagaimana bisa science with religion agar tidak “blind and lame” itu tak pernah ada penjelasan memadai. Kata-kata mutiara tersebut hanya benar sebatas potret di permukaan dari kondisi yang hanya merupakan akibat. Soalnya ialah bagaimana supaya akibat-akibat itu jangan terus terjadi. Dan, soalnya makin parah lagi, karena umumnya kaum terpelajar dan rohaniwan mengira soal ini tak ada atau sudah lama beres.

Seorang yang mengaku “ilmuwan”, jika ternyata masih beriman, maka hampir bisa dipastikan bahwa sebenarnya ia cuma memiliki ilmu yang kepalang. Bisa jadi pula ia belum sempat, atau nalarnya belum sanggup, membereskan masalah itu dalam jiwanya sehingga belum pernah tiba pada keharusan memilih salah satunya. Mungkin juga ia tak berani memikirkan masalah ini lebih jauh, sebab telah mulai merasakan nelangsa seperti dialami Darwin sebagai calon pendeta dan penyair yang harus meninggalkan imannya seiring perkembangan pengetahuannya yang ia yakin lebih benar. Sejenis “ketidakberanian untuk menjadi manusia dewasa mandiri”, kata Kant, John Dewey, Erich Fromm, dan seterusnya. Sehingga, sebaliknya, “beriman sama dengan masih bodoh, infantil, lemah, bermoral budak”, kata Nietzsche, Auguste Comte, dan seterusnya.

Rumus “cerdas namun beriman” itu saja kentara keliru. Cerdas dijadikan tujuan, dan atheis menjadi eksesnya, sehingga selanjutnya tinggal menepis ekses itu. Jadi, iman cuma merupakan pemadam kebakaran (yang pula tak menjamin padamnya api sebelum segalanya terlanjur hangus). Iman cuma seperti butir-butir es kecil penyejuk yang sia-sia bila dicemplung ke dalam periuk besar air yang mendidih. Aktivitas agama maupun wacana iman lantas dijadikan saja sebagai baju yang indah, kemasan bagian luar dari setiap pribadi, demi pelbagai tujuan.

Kalau iman yang jadi dasar kemudian baru ditumbuhkan kecerdasan di atas dasar itu? Ini skenario yang sudah benar sebagai garis besar teoretis, tapi dalam pelaksanaan praktisnya sama celaka. Saat kecerdasan bertumbuh menjadi saat iman memudar. Kini iman diposisikan sebagai area perbudakan yang harus ditinggalkan, di sini bertobat berarti justru membuang iman. Bahkan, lebih dini, agama sering berfungsi jadi belenggu yang menghalangi perkembangan kecerdasan.

Hal “perkembangan kecerdasan” itu sendiri memang perlu disinggung. Sebesar problem upaya mempertahankan iman saat mengembangkan kecerdasan — kata orang: agar tetap ada ImTak bersama IpTek — sebesar itu jua, atau barangkali lebih sulit, mengembangkan kecerdasan itu sendiri untuk mencapai optimasi. Sudah tak terhitung aneka sistem pembelajaran dan ramuan kurikulum yang dicoba di sepanjang sejarah peradaban makhluk manusia.

Sesungguhnya, iman memang benar dasar kecerdasan. Takut pada Tuhan, itu dasar semua pengetahuan. Dan lebih lagi, seiring masuknya manusia ke Perjanjian Baru (sebagaimana dikatakan Nabi Yeremia) lalu kita melakukan reinterpretasi atas Amsal 1:7 tersebut, maka manusia pun bisa mencapai kecerdasan optimal di dalam iman yang benar dan kokoh

Sumber: Majalah Bahana, Juli 2008

0 comments:

Post a Comment