Tuesday, September 6, 2011

Bukanlah Telaga Narsis

By: Xavier Quentin Pranata

Anda tentu kenal benar legenda Narcissus, yaitu seorang pemuda yang begitu tampan dan rupawan yang setiap hari berlutut di tepi sebuah telaga untuk mengagumi keelokan wajahnya sendiri. Dia begitu terpesona dengan dirinya sendiri, sehingga suatu pagi dia jatuh ke dalam danau dan tenggelam. Di tempat di mana dia terjatuh tumbuh sekuntum bunga yang diberi nama narcissus.

Seperti itulah kisah yang Anda baca, dengar atau lihat. Namun, ada penulis yang mengakhiri kisahnya dengan sedikit berbeda. Ketika Narcissus mati, dewi hutan muncul dan menemui telaga itu, yang sekarang berubah dari air tawar ke air asin karena tangisannya.

“Mengapa engkau menangis?” tanya dewi itu.
“Aku menangis bagi Narcissus,” jawab telaga itu.
“Ah, tidaklah mengejutkan bahwa engkau menangis bagi Narcissus, karena meskipun kita mengejarnya di dalam hutan, engkaulah yang paling dapat menikmati kegantengannya secara dekat.”
“Namun...apakah Narcissus memang tampan?” tanya danau itu.
“Siapa lagi yang lebih mengenal kegantengannya daripada engkau?” tanya dewi itu dengan heran. “Bukankah dia berlutut di tepimu setiap hari untuk mengagumi dirinya sendiri?”

Telaga itu terdiam untuk sesaat. Akhirnya, dia berkata:
“Aku menangis bagi Narcissus, tetapi aku tidak pernah memperhatikan bahwa Narcissus itu tampan. Aku menangis karena setiap kali dia berlutut di tepiku, aku dapat melihat, di dalam kedalaman matanya sendiri, kecantikanku sendiri yang memantul dari matanya.”

Begitu mempesona dan mendalam sekali pemahaman tentang Narcissus yang ditulis oleh Paulo Coelho di dalam novel apiknya The Alchemist itu. Cara penulis novel laris By the River Piedra I Sat Down and Wept itu begitu filosofis, sehingga saya ikut ‘tertular’ oleh Rivana, sahabat saya yang membelikan novel ini untukku, menyenangi karya-karya Coelho.

Jauh di lubuk hati kita yang terdalam, dengan atau tanpa kita sadari, sedikit banyak, kita pun seorang yang narsis. Tidak percaya? Jika kita melihat album foto bersama, wajah siapa yang kita cari pertama kali? Wajah kita sendiri, bukan? Saya bahkan tertawa geli ketika seorang ibu menunjukkan foto bersama dan bertanya, “Coba, Pak Xavier, saya yang mana?” Ketika saya kebingungan melihat wajah-wajah yang kecil-kecil itu, dia mengarahkan jari telunjuknya ke sepotong wajah yang hanya tampak seperempat sambil berkata, “Ini lho saya!”

Sekarang, coba kita renungkan bersama. Jika kita memandang wajah Tuhan, mengamati biji mata-Nya secara jernih, siapa yang kita lihat di sana? Anda benar. Wajah kita! Dia begitu mengasihi kita sehingga menjaga kita dengan sangat baik seperti seekor induk ayam menjaga anaknya (baca Matius 23:37). Tuhan juga menganggap kita miliknya yang paling berharga sehingga menjaga kita seperti biji mata-Nya sendiri (Ulangan 32:10), sehingga sehelai rambut kita pun tidak akan jatuh tanpa seizin-Nya (Lukas 21:19).

Jika kita menyadari kasih-Nya yang begitu dalam, tidakkah seharusnya kita menangisi dosa, kesalahan dan pelanggaran kita sendiri? Karena untuk itulah Tuhan merelakan Anak-Nya yang tunggal mati di kayu salib. Yang lebih luar biasa lagi, Dia menampung air mata kita di dalam kirbat-Nya. Telaga kasih-Nya bukanlah telaga yang narsis, tetapi kharis!

Sumber: Majalah Bahana, November 2008

0 comments:

Post a Comment