Thursday, September 8, 2011

Budaya Suguhan Gereja seharusnya membuat umat menjadi semakin dewasa

By: Andar Ismail, M.Th, Ph.D.

Sampai larut malam lapangan itu penuh dengan ribuan kuli bangunan, pedagang asongan, pengemudi ojek, awak angkutan umum dan pemuda lain. Mereka berkerumun di situ untuk menikmati pagelaran musik dangdut. Mereka menari, bergoyang, berjoget dan menyanyi dengan gembira.

Grup musik itu sedang menyuguhkan sebuah budaya atau kultur. Tiap komunitas sosial budaya seperti pesantren, gereja, keluarga, sekolah, perkumpulan sepak bola, partai politik atau lainnya merupakan produsen budaya yang menyuguhkan budaya masing-masing. Isi dan warna budaya yang disuguhkan oleh tiap komunitas itu tentu berbeda.
Budaya adalah keseluruhan pedoman nilai-nilai hidup dan tingkah laku sebagai buah dari pandangan hidup yang dasariah mengenai berbagai aspek, seperti pandangan tentang arti kerja, waktu, keluarga, harta, lingkungan hidup, kelahiran, kehidupan, pernikahan, kematian dan lainnya.

Gereja sebagai komunitas sosial budaya juga merupakan produsen budaya. Budaya yang disuguhkan oleh gereja adalah pandangan dan pedoman nilai-nilai hidup sebagaimana tampak dalam modelnya yaitu Yesus orang Nazaret.

Bagaimana cara gereja menyuguhkan kulturnya? Tiap bentuk pewartaan Injil seperti khotbah, katekese, pemahaman Alkitab, pendidikan keluarga, sekolah minggu, buku, majalah, paduan suara, pelajaran agama atau lainnya merupakan suguhan budaya.
Apa yang terjadi ketika kita sebagai komunitas menyuguhkan budaya? Apa kita menyesuaikan diri pada masyarakat ataukah sebaliknya kita mengubah masyarakat? Kedua-duanya.

Pakar pendidikan budaya Robert Wuthnow dalam buku Communities of Discourses menulis, “They draw resources, insights and inspiration from that environment, they reflect it, speak to it, and make themselves to it. And yet they also remain autonomous enough from their social environment to acquire broader, even universal and timeless appeal.” Simak bahwa dalil Wuthnow itu terdiri dari dua segi yang bertolak belakang yang terpisah oleh kata “and yet”.

Menurut dalil itu, ketika kita menyuguhkan budaya kepada suatu komunitas, kita menerima dan memanfaatkan pengalaman serta pemikiran mereka, lalu kita merefleksikan semua itu, menyapa dan menyatroninya serta menjadikan diri kita relevan dengan semua itu. Namun serempak kita juga menjaga jarak dengan pola pikir komunitas itu supaya kita bisa mewartakan pesan yang lebih luas, universal dan langgeng.

Ketika menyuguhkan budaya, kita menempatkan diri pada konteks konsumen, kita menyejajarkan diri pada keadaan dan kebutuhan mereka, namun serempak kita juga mengangkat mereka ke tingkat yang lebih tinggi, ke cakrawala yang lebih luas dan ke taraf nilai-nilai yang lebih luhur.

Interaksi antara sikap meyejajarkan diri kepada konsumen dan di lain pihak mengangkat mereka ketingkat yang lebih tinggi, tampak dalam pekabaran Injil yang dilakukan oleh Rasul Paulus. Ketika menulis tentang fungsi rasul dan pekabaran injil, ia menyejajarkan diri dengan empat contoh kategori konsumen yaitu, “Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti seorang Yahudi… bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup dibawah hukum Taurat… bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat… bagi orang-orang yang lemah aku menjadi orang yang lemah…” (1Kor. 9:20-22). Paulus menerima orang-orang itu sebagaimana adanya dan ia menempatkan diri sebagai bagian dari diri mereka. Tetapi Paulus tidak berhenti sampai disitu. Serempak ia juga mentransformasi mereka dan mengangkat mereka ke pola hidup yang lebih tinggi, yaitu pola hidup Kristus. Tulis Paulus, “supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka” (ayat 22)

Gereja menyuguhkan budaya pada umat sepanjang pekan melalui berbagai kegiatan. Gereja menempatkan diri pada tingkat kebutuhan umat, namun gereja tidak boleh berhenti di situ, melainkan serentak harus juga mengangkat umat ke tingkat yang lebih tinggi supaya umat bertumbuh dan berpandangan lebih luas. Kalau tidak demikian gereja itu mandek dan umatnya kerdil.

Produk budaya tidak boleh asal laku, melainkan juga perlu bermutu, memicu pertumbuhan dan menghasilkan pembaruan.

Apa gereja kita bertumbuh? Ya, tapi agaknya hanya dalam arti jumlah alis bertambah. Sepuluh tahun lalu gedung gereja kecil, tetapi sekarang gedungnya bertambah megah dan besar. Lapangan parkirnya tambah penuh mobil. Ruang ibadahnya tambah luber. Sistem suaranya tambah nyaring. Musiknya tambah bising. Kantong persembahannya tambah banyak. Pendetanya tambah gemuk.

Akan tetapi wawasan gerejanya tidak bertambah luas. Padahal produk budaya gereja seharusnya membuat umat bertambah menjadi semakin dewasa sehingga bisa menghargai keutuhan ciptaan, semua makhluk, semua bangsa dan semua agama.
Kenyataannya berbeda. Boro-boro menghargai semua bangsa dan semua agama, gereja yang cuma beda seratus meter tidak kita akui. Kita bilang gereja itu tidak berdasarkan Alkitab. Kita bilang ajarannya sesat.

Mana pertumbuhan wawasan kita? Dulu kita berpikir sempit. Nanti mungkin semakin sempit. Padahal seharusnya produk budaya yang disuguhkan oleh gereja tiap minggu mengangkat kita ke taraf pikir yang lebih luas, ke kualitas hidup yang lebih luhur dan perilaku yang lebih mulia.

Budaya yang disuguhkan oleh banyak komunitas memang cuma berputar di situ-situ juga. Kita tidak bertumbuh. Coba lihat ribuan pemuda yang disuguhi musik dangdut di lapangan itu. Mereka bergoyang, bersorak, bertepuk tangan, menyanyi dan menari. Apakah suguhan budaya itu berguna? Tentu! Mereka bergembira dan melupakan segala stres hidup mereka. Namun berguna cuma sesaat. Cuma pelarian mencari kepuasan. Tiap minggu mereka bergoyang di situ, namun mereka tidak tumbuh.

0 comments:

Post a Comment