Tuesday, September 6, 2011

Berkarya di tengah Kerasnya Hidup

By: Pdt. Wahyu Pramudya, M.Th

Di tengah beratnya beban kehidupan, masih mampukah kita berkarya melayani orang lain seperti Yesus?

Nama adalah harapan. Sayangnya, apa yang menjadi harapan dari sebuah nama seringkali tidak mewujud dalam kenyataan. Hal ini adalah ironi yang kemudian bisa menjadi bahan olokan. Coba bayangkan saja nama Jujur Setiawan, nama yang jelas dan lugas mengungkap harapan orangtua sang pemberi nama. Eh … ternyata orang ini malah jadi koruptor. Seorang perempuan diberi nama Suci Murniati, h … ternyata malah menggandeng suami orang. Sebuah pabrik diberi nama Teguh Jaya Lestari. Tapi, jangankan lestari, jaya saja belum, teguh berdiri saja tidak bisa karena terbenam oleh lumpur Lapindo. Sebuah ironi bukan?

Kesempitan Hidup
Nama Bethesda adalah sebuah ironi besar. Bethesda yang mempunyai arti rumah kasih karunia, adalah nama sebuah kolam yang diyakini sanggup menyembuhkan penyakit apa pun juga (Yoh. 5:4). Penduduk di sekitar kolam itu meyakini bahwa sewaktu-waktu akan ada malaikat Tuhan yang menggoncangkan air kolam itu. Siapa saja yang pertama kali masuk setelah air kolam itu erguncang akan mengalami kesembuhan. Di sinilah ironi nama Bethesda. Di tempat yang bernama rumah kasih karunia itu, orang-orang berebutan untuk menjadi yang pertama masuk ke kolam setelah guncangan air terjadi. Sangat mungkin orang yang pertama kali masuk ke kolam Bethesda adalah orang yang paling memikirkan dirinya sendiri dengan segala akal dan kekuatannya mengalahkan yang lain. Di kolam bernama kasih karunia, tiap-tiap orang hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Akibatnya, ada seorang yang sudah lumpuh selama 38 tahun tidak mendapatkan kasih karunia di kolam kasih karunia.

Apa yang terjadi di sekitar kolam Bethesda adalah gambaran tentang kerasnya kehidupan. Hidup ini keras dan menuntut perjuangan, sehingga selalu ada orang-orang yang kalah. Orang-orang kalah dan tersisihkan yang harus menerima realita hidup tanpa perlawanan berarti. Sama seperti saat ini, kita mungkin hanya bisa menerima sebuah kenyataan hidup, tanpa tahu mengapa dan bagaimana kenyataan hidup itu bisa sedemikian sulit. Kita harus menerima naiknya harga BBM (24/5) tanpa perlawanan berarti. Kita harus menerima realita ada anggota keluarga yang sakit tak kunjung sembuh. Kita harus bergumul dengan kenyataan bahwa anak yang kita harapkan di masa depan, tiba-tiba terjerat hidupnya dengan narkoba. Kita pun harus menerima duka yang tiba-tiba menyergap orang-orang terkasih. Hal-hal ini terjadi dan mau tidak mau kita harus menerimanya. Inilah yang membuat hidup terasa sempit.

Kesempatan Berkarya
Penulis Injil Lukas mengisahkan bahwa Yesus datang ke kolam Bethesda. Tentu banyak orang sakit yang menantikan mukjizat kesembuhan. Tapi, perhatian Yesus tertuju justru pada orang yang sudah tersisihkan di kolam kasih karunia itu. Kepada orang yang sudah lumpuh selama 38 tahun ini, Yesus bertanya, “Maukah engkau Sembuh ?” (Luk. 5:6) Sebuah pertanyaan yang terdengar aneh bukan? Jika orang lumpuh itu tidak ingin sembuh, tentu ia tidak berada di kolam Bethesda. Yesus memahami bahwa kesempitan hidup ini bisa membuat orang kecewa dan tidak berani berharap lagi. Kekecewaan orang itu nampak dalam jawaban, “ …. sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.” Yesus ingin membangkitkan kembali semangat dan harapan orang lumpuh itu. Di mata esus, kesempitan hidup adalah kesempatan baginya untuk berkarya. Maka Yesus pun memerintahkan dengan otoritas-Nya hingga mukjizat terjadi.

Di tengah makin beratnya beban kehidupan ini, masih mampukah kita berkarya melayani orang lain seperti Yesus? Mari kita mawas diri jangan-jangan justru perilaku kitalah yang membuat kehidupan ini terasa makin sempit bagi orang lain? Mari kita belajar pada Yesus untuk melihat esempitan hidup sebagai kesempatan untuk berkarya bagi orang lain demi kemuliaan Tuhan.

*) Penulis adalah Pendeta GKI Ngagel Surabaya. Tulisannya dapat pula dibaca di http://wepe.co.cc.

Sumber: Majalah Bahana, Juli 2008

0 comments:

Post a Comment