Tuesday, September 6, 2011

Asalkan kita bersedia untuk Diproses

By: Prof. Roy Sembel

”.....Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu!” (Yesaya 64:8b)

Badu telah bekerja 5 tahun di sebuah perusahaan farmasi kelas menengah di Jakarta. Saat ini ia telah 1 tahun menjadi supervisor pada bagian pemasaran. Sebagaimana kebanyakan pekerja sebayanya, Badu tiap hari berangkat mengendarai mobil kecil sederhana keluaran 10 tahun lalu, dari rumahnya di pinggir kota Jakarta pukul 05.30 agar bisa tiba di kantor tepat waktu sebelum kemacetan melanda Jakarta. Secara rutin, kehidupan keras di kota Jakarta harus dilaluinya seharian penuh. Di malam hari, ia harus menunggu kemacetan mereda dan pulang ke rumah sekitar pukul 21.00. Meski telah menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, hasilnya dirasa Badu tidak memadai. Tingkat kehidupannya sekarang membuat Badu sangat tidak puas. Rumah tipe RSS yang dimiliki dan ditempatinya sudah mulai merongrong. Atapnya bocor di sana sini saat hujan turun. Mobil sederhananya sudah mulai batuk-batuk dan minta turun mesin. Padahal, uang di rekening tinggal tersisa kurang dari Rp 1 juta. Sementara itu, Tuti – kekasih Badu, sudah memaksa minta menikah. Badu pun semakin tertekan. “Ah, seandainya saja saya mendadak menang lotere Rp 10 miliar, pasti hidup saya akan senang. Bebas dari masalah,” keluh si Badu. PARADOKS MENANG LOTERE Sekilas tampak keluhan Badu wajar. Kendati begitu, bila dicermati lebih lanjut, keluhan itu tidak pada tempatnya.

Secara relatif, kehidupan Badu sudah jauh lebih baik dibanding puluhan juta orang Indonesia yang masih menganggur. Di antara yang memiliki pekerjaan pun, hanya sebagian kecil yang bisa naik pangkat menjadi supervisor bahkan telah memiliki rumah dan mobil sendiri dalam usia relatif muda dan belum berkeluarga.

Kesalahan yang lebih parah adalah pemikiran bahwa mendapat uang kaget akan membuat Badu bebas masalah.

Menurut sebuah penelitian terhadap pemenang lotere, sebagian besar dari mereka, hanya hidup meriah selama 2-3 tahun pertama. Setelah itu, mereka akan bangkrut bahkan dikejar-kejar penagih utang. Jadi, kehidupan finansial mereka justru menjadi lebih parah dibanding sebelum memenangkan lotere. Pasalnya, perilaku mereka dalam mengelola keuangan belum cukup kuat untuk bisa mempertahankan apalagi mengembangkan kemakmuran dadakan tersebut. Singkatnya, kalau embernya belum siap, kucuran air deras justru bisa merusak ember tersebut. Airnya tidak didapat, embernya pun rusak. DIBENTUK JADI BEJANA Sejalan dengan perilaku keuangan, ada banyak hal dalam hidup ini memerlukan proses agar terbentuk menjadi baik. Dalam Alkitab, ada banyak contoh tokoh yang harus melalui proses berliku sebelum menjadi tokoh sukses dan membawa nilai tambah bagi lingkungannya. Yusuf harus menjalankan profesi sebagai budak belian, terpidana di penjara, sebelum akhirnya menjadi perdana menteri. Musa perlu dibentuk selama 40 tahun di padang gurun sebelum menjadi pemimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Daud diproses lewat profesinya sebagai penggembala di tempat yang penuh binatang liar, harus mengalahkan Goliat, serta berperang melawan banyak bangsa lain sebelum menjadi raja Israel yang terkenal sukses. Secara tidak sadar, banyak di antara kita yang terjebak mengeluh seperti Badu, meski persoalannya tidak persis sama.

Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan justru bisa memperburuk masalah. Mari kita jalani hidup ini dengan penuh pengucapan syukur karena kita sadar bahwa Tuhan sedang memproses kita menjadi yang terbaik asalkan kita bersedia untuk diproses. Tuhan adalah penjunan. Kita adalah tanah liat yang sedang diproses menjadi bejana atau perangkat lain yang akan sangat berguna bagi kemuliaan-Nya. Anugerah Tuhan akan bersinar bukan saat kita sempurna seperti yang dipikirkan banyak orang, melainkan saat hati kita bersedia diproses untuk dibentuk semakin hari semakin sempurna sesuai kehendak Tuhan atas diri kita. Selamat menikmati proses pembentukan oleh Tuhan.

Salam WISDOM.

Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2008

0 comments:

Post a Comment